Wedhusku

Jumat, 15 November 2013

Analisis Kerusuhan Etnik Cina dan Pribumi (Jawa) pada tahun 1980 di Surakarta dengan sumber wawancara

Indonesia adalah sebuah masyarakat yang terdiri dari berbagai suku, ras dan agama. Hal ini diperlihatkan oleh adanya berbagai golongan etnis yang ada didalamnya di bawah suatu negara kebangsaan. Banyak golongan etnis yang mendiami berbagai tempat dan menyebar di berbagai pulau di Indonesia, hubungan yang tidak terjalin dengan baik akan menimbulkan jarak sosial, yang menjadikan konflik sosial. Konflik antar golongan etnis terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Penyebab timbulnya konflik antar etnis memang banyak mencakup kondisi teknik, sosial dan politik. Konflik etnis adalah konflik yang berhubungan dengan permasalahan-permasalahan mengenai politik, ekonomi, sosial, budaya antara dua komunitas etnis atau lebih. Konflik etnis seringkali bernuansa kekerasan. Nasionalisme yang didasarkan pada fundamental etnis membuat suatu kelompok dapat dengan mudah memobilisasi massa, dan membentuk suatu pasukan yang memiliki motivasi berperang yang tinggi. Jika sudah seperti ini, kekuatan militer akan menjadi suatu kekuatan yang sangat kejam. Perang dengan kekejaman yang masih tidak bisa terelakkan. Konflik etnis dapat terjadi jika dua etnis yang berbeda hidup dan beraktivitas di dalam area yang berdekatan. Pemerintahan yang berkuasa biasanya adalah pemerintahan yang lemah, sehingga tidak mampu mencegah dua kelompok etnis yang berbeda untuk saling berseteru ataupun untuk menjamin keamanan dari individu maupun kelompok di masyarakat tersebut. Beberapa penyebab timbulnya jarak sosial dan konflik sosial adalah faktor ekonomi politik dan perlakuan diskriminatif. Konflik masyarakat etnis cina dengan pribumi sudah terjadi jaman dahulu. Pembatasan kekuasaan kepada warga Cina dengan dampak luas dalam hubungan sosial dan psikologi di antara dua etnis. Bagi masyarakat Cina sangat dirasakan pembatasan, kemudian diikuti dengan tumbuhnya rasa keistimewaan bagi status dan posisinya yang diberi fasilitas terbatas oleh pemerintah Belanda. Hal ini terutama terjadi pada kalangan orang-orang Cina kaya yang mampu dipersamakan dengan warga Eropa, sehingga menerima perlakuan istimewa dan kebebasan bisnis dalam kehidupan ekonomi di Surakarta. Mereka juga berhak tinggal di luar kampung-kampung yang ditunjuk bagi orang Cina, namun sebaliknya bisa bermukim di wilayah pemukiman Eropa. Pengangkatan status orang Cina sebagai kawula pemerintah Hindia Belanda menyebabkan putusnya ikatan psikologis dan resmi antara warga Cina ini dengan para penguasa pribumi, yang diikuti dengan semakin renggangnya hubungan antara mereka dan penduduk pribumi. Emosi-emosi yang dilandasi dengan rasa keunggulan etnis antara kedua pihak. sebelum abad XX, orang-orang Cina menjadi sasaran yang sifatnya kriminalitas sosial, maka setelah itu setelah pencabutan dan terjadinya Revolusi Nasionalis Cina. Konflik yang terjadi antara etnis Cina dan penduduk pribumi cenderung bernuansa rasial. Masing-masing pihak merasa tidak lagi memiliki ikatan emosional lama dan saling menganggap dirinya lebih berhak berperan, etnis Cina menganggap diri mereka sebagai warga yang diistimewakan oleh penguasa kolonial sebagai kelas menengah ekonomi sehingga berhak mengambil tindakan ekonomi yang menguntungkannya, sementara penduduk pribumi sebagai pemilik tanah mamandang tindakan orang Cina sebagai melanggar batas kewenangannya. Ketidak adilan perlakuan ekonomi yang disebabkan oleh kebijakan kolonial pada jaman dahulu menjadi pemicu dalam proses pengelompokan sosial. Pengelompokan khusus masyarakat Cina dalam pola pemukiman kolonial ini juga menyebabkan pembentukan kerjasama untuk memajukan kepentingan bersama di antara beberapa sektor usaha. Dibandingkan kegiatan ekonomi Cina abad XIX di Surakarta, kerja sama Cina ini menunjukkan bentuk aktivitas ekonomi dengan nuansa etnis yang cukup kental. Akibatnya konflik dari sektor ekonomi sering muncul melalui benturan kerjasama Cina tersebut dengan kepentingan masyarakat pribumi. Keragaman budaya ini bukanlah pemicu, akar atau juga penyebab akan tetapi multikultural yang ada di Solo dijadikan konflik menjadi memiliki faktor pendukung yang lebih besar untuk menjadi kerusuhan. Konflik yang bernuasa etnis Cina dan pribumi karena identitas etnis dan agama di Solo memberikan warna yang sangat tajam untuk konflik. Etnis tidak menjadi pemicu konflik tetapi kecemburuan sosial yang terpendam di politik dan ekonomi. Terjadi akibat adanya akumulasi kecemburuan sosial dengan mengabaikan nilai-nilai/norma sosial yang ada seperti keterbukaan, tepo seliro dll. Ada hal buruk yang dituduhkan kepada etnis tertentu, dominasi penguasaan pasar ekonomi oleh etnis tertentu, politik orang jawa karena ideologi yang berbeda-beda. Keragaman budaya bukan penyebab konflik tetapi lebih pada menjadi peyebaran yang lebih besar atau lebih luasnya konflik. Selama Orde Baru berlangsung, peristiwa kerusuhan Anti Cina juga terjadi pada tahun 1980. Berbagai peristiwa yang terjadi itu, memperlihatkan bagaimana Kota Solo memiliki rekaman yang cukup banyak atas peristiwa kekerasan massa. Konflik Cina pada tahun 1980 Hanya berawal dari insiden kecil serempetan sepeda antara siswa Sekolah Guru Olahraga dengan seorang pemuda etnis Cina yang bernama Kicak, akhirnya meluas menjadi kerusuhan etnies. Berbagai bangunan seperti rumah, toko, kantor yang ada di sepanjang Kota Solo dibakar massa. Tidak hanya itu kerusuhan berbau etnis itu merembet hingga kota-kota di luar Solo seperti Purwadadi, Kudus, Semarang dan Pati Utara. Kerusuhan diawali ketika pada tanggal 19 November 1980 seorang pemuda Tionghoa bernama Ompong atau Kicak terserempet para pengendara sepeda yang merupakan siswa SGO (Sekolah Guru Olah Raga). Adu mulut terjadi dan Kicak memukul salah seorang siswa SGO itu dengan batu hingga berdarah. Sesudah itu Kicak melarikan diri ke dalam toko Orlane yang juga dimiliki oleh orang Tionghoa dan melarikan diri lewat pintu belakang. Ia lantas menghilang di kompleks SMPN XIII Surakarta. Siswa SGO yang terluka itu bernama Pipit Supriyadi lalu kembali ke sekolah mereka. Kebetulan jaraknya dekat dari tempat kejadian. Pipit yang kebetulan ketua OSIS menghimpun teman-temannya agar mendatangi toko Orlane dan meminta agar mereka menyerahkan Kicak, namun tidak berhasil. Puluhan orang siswa yang berasal dari kelas I dan II itu juga tidak berhasil menemui Kicak di rumahnya di Stabelan. Tuntutan para pelajar itu belum dipenuhi, sehingga puluhan pelajar SGO yang berasal dari kelas 1,2 dan 3 kembali mendatangi toko Orlane. Karena gagal mendapatkan yang mereka harapkan, mulailah mereka melempari sejumlah toko dan rumah di jalan Urip Sumoharjo. Tujuh toko mengalami kerusakan ringan. Pasukan keamanan segera bertindak. Pipit dibawa ke KODIM Sala guna menandatangani perjanjian tertulis disaksikan ibunya dan kepala SGO Negeri Solo, bahwa ia tak akan mengulangi merusak toko, tetapi ia juga meminta agar pihak keamanan menangkap orang yang melukai kepalanya. 20 November 1980 memang tidak terjadi pengrusakan, namun masa mulai berkumpul untuk menyaksikan sisa-sisa kerusuhan. Hari selanjutnya pada tanggal 21 November 1980, kondisinya tenang. Dikabarkan bahwa petugas keamanan itu berhasil mencegah serombongan orang dari luar kota yang ingin masuk ke Surakarta. Hal itu terjadi karena adanya isu bahwa Pipit tewas karena luka-lukanya. Menurut cerita pulangnya Pipit dari kantor Kodim pada hari sebelumnya, ia diikuti tiga orang tak dikenal yang ternyata merupakan mahasiwa Universitas Surakarta Sebelas Maret. Mereka mengajak Pipit agar meneruskan masalah itu, sehingga pada tanggal 21 November diadakan rapat dengan mahasiswa dan perwakilan OSIS di Solo. Pertemuan ketika itu terjadi di Jembatan Jurug. Kemudian pertemuan dipimpin oleh mahasiswa UNS. Pertemuan itu menghasilkan keputusan yaitu pelajar menuju ke Coyudan dengan berjalan kaki untuk mengadakan perusakan toko-toko Cina. Tugas setelah itu, bubar adalah membuat pamflet-pamflet. Semua pelajar tidak boleh mengejek, menghina semua petugas yang bisa menimbulkan kemarahan petugas. Akibatnya kerusuhan meledak pada tanggal 22 November. Masa yang terdiri dari para pelajar berbondong-bondong melempari toko dan bangunan milik keturunan Tionghoa. Sehari setelah itu kerusuhan semakin meluas karena ada para penjahat yang di sebut dengan gali. Efek masalah kerusuhan yang bernuasa etnik ini adalah amuk massa berbau etnis. Inti masalah nya adalah keragaman budaya. Akar dan penyebabnya yang sampai pada saat ini masih ada adalah masyarakat etnis Cina yang masih tertutup dan belum dapat berbaur, masyarakat pribumi yang menguasai tetapi tidak memberikan padangan yang sama dengan etnis lain dan cina khususnya. Kepemihakan pemerintah atau pelaksana keamanan tidak seimbang, kepemihakan kepada pemilik modal dan pengusaha yang kebanyakan adalah etnis Cina, kesenjangan ekonomi antara etnis Cina dan Pribumi yang masih sedikit jembatannya dan perpolitikan yang dipengaruhi oleh eksternal dan internal masyarakat Solo itu sendiri. Dengan mengambil isu-isu etnik untuk membangun massa partai. Yang masih melekat baik etnis Cina dan pribumi komunikasi antar etnik sangat jarang, yang pasti hanya terjadi antara majikan dan pembantu, penjual dan pembeli. Ketidak pedulian pemerintah terhadap asimilasi dan akulturasi keberagaman budaya. Persepsi yang berbeda yang disebabkan perbedaan budaya dan tidak terjadinya dialog didalamnya. Masih sedikitnya sosialitas yang menemukan beragam etnis di Solo kejujuran dalam berdialog di dalam forum-forum antar etnis, dialog yang masih semu dan masih pada permukaan saja. dialog yang yang tidak berkelanjutan, terjadi dialog jika sudah terjadi kerusuhan dan ketika sudah lama tidak kerusuhan beberapa etnis Cina tidak terlihat. Bhinneka Tunggal Ika adalah Semboyan, negara kita Bhinnekka Tunggal Ika merupakan kenyataan dari masyarakat Indonesia yang terdiri banyak suku bangsa yang masing-masing memiliki jatidiri sukubangsa dan kebudayaan. Tidak dapat dipungkiri, keragaman bangsa Indonesia yang pada satu sisi dapat teraktivasi sebagai faktor pemersatu namun di satu sisi lainnya dapat menyebabkan perpecahan. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk penyelesaian konflik tersebut seperti suatu perselisihan yang langsung dihentikan oleh pihak ketiga. Dalam hal ini pemerintah dan aparat penegak hukum yang memberikan keputusan dan diterima serta ditaati oleh kedua belah pihak dengan memberikan sanksi yang tegas. Kejadian seperti ini terlihat setiap hari dan berulangkali di mana saja dalam masyarakat, bersifat spontan dan informal. Usaha untuk mempertemukan keinginan pihak-pihak yang berselisih sehingga tercapai persetujuan bersama Cara-cara yang lain untuk memecahkan konflik adalah perlunya diberikan pemahaman dan pembinaan terhadap arti Bhinneka Tunggal Ika sebagai faktor pemersatu keanekaragaman di Indonesia, bukan sebagai faktor pemicu perpecahan atau konflik. Selain itu perlu diberikan pemahaman kepada para pihak yang terlibat konflik untuk meniadakan prasangka yang ada pada kedua belah pihak dengan cara memberikan pengakuan bahwa masing-masing pihak adalah sederajat dan melalui kesederajatan tersebut masing-masing anggota sukubangsa berupaya untuk saling memahami perbedaan yang mereka punyai serta menaati berbagai norma dan hukum yang berlaku di dalam masyarakat. Sebagai masyarakat yang baik, kita harus menjaga agar konflik tidak mudah terjadi di lingkungan hidup kita dan berusahalah untuk menghindarinya. Selalu bertoleransi, saling menghormati satu sama lain dan jangan jadikan perbedaan suatu masalah. Karena Indonesia adalah Bhineka Tunggal Ika jadi walaupun berbeda tetap satu bangsa.

Krisis Teluk (Perang Teluk 1)

A. Awal Mula Perang Teluk Perang Iran-Irak juga dikenali sebagai Pertahanan Suci dan Perang Revolusi Iran di Iran, dan Qadisiyyah Saddam di Irak, adalah perang di antara Irak dan Iran yang bermula pada bulan September 1980 dan berakhir pada bulan Agustus 1988. Walaupun Irak tidak mengeluarkan pernyataan perang, tentaranya gagal dalam misinya di Iran dan akhirnya serangan mereka dapat dipukul mundur oleh Iran. Walaupun PBB meminta adanya genjatan senjata, pertempuran tetap berlanjut sampai tanggal 20 Agustus 1988, pertukaran tawanan terakhir antara kedua Negara terjadi tahun 2003. Perang ini memiliki kemiripan dengan Perang Dunia I. taktik yang digunakan seperti pertahanan parit, pos-pos pertahanan, serangan dengan Bayonet, kawat berduri, penggunaan senjata kimia seperti gas Mustard. B. Kondisi Perang Teluk Ini merupakan kondisi dimana perang teluk 1 berlangung selama 8 tahun, gambar ini merupakan seorang tentara yang berjuang dan bergerilya melawan musuh. Tentara Israel berdiri di dalam kawah yang dibuat ketika rudal SCUD Irak meledak di dekat sebuah desa di Tepi Barat pada tanggal 29 Januari 1991. C. Asal Usul Perang Teluk (1) Walaupun perang Iran-Irak yang dimulai dari tahun 1980-1988 merupakan perang yang terjadi di wilayah Teluk Persia, akar dari masalah ini sebenarnya dimulai lebih dari berabad-abad silam. Berlarut-larutnya permusuhan yang terjadi antara kerajaan Mesopotamia(terletak di lembah sungai Tigris-Eufrat, yang kini menjadi sebuah negara Irak modern) dengan kerajaan Persia atau negara Iran modern D. Faktor penyebab perang Iran-Irak Iran dan Irak merupakan dua negara yang bertetangga, namun keduanya tidak dapat saling akur, hal ini disebabkan karena keduanya merasa sama – sama lebih unggul. Hal ini diperjelas lagi setelah kemenangan kaum revolusioner di Iran yang berhasil menumbangkan rezim monarki dan menggantinya menjadi negara Republik Islam Iran serta ingin mengekspor revolusinya ke negara negara – negara Arab lainnya yang masih berbentuk monarki. Hal ini mendorong Irak untuk tampil sebagai juru selamat bangsa Arab dari ancaman invasi revolusi Iran. Penyebab Umumnya : 1. Kedua negara tidak mau mengakui keunggulan masing – masing. 2. Masalah minoritas etnis 3. Perbedaaan orientasi politik luar negeri 4. Irak beruasaha untuk merebut kembali beberapa daerah Arab yang telah di klaim oleh Iran (Shatt al – Arab dan tiga pulau kecil di selat Hormus menurut perjanjian Algiers th 1975). Penyebab Khususnya : 1. Adanya serangan granat pada tanggal 1 April 1980 terhadap wakil PM Irak Tariq Aziz yang diduga didalangi oleh Iran 2. Adanya pengusisran ribuan keturunan Iran oleh sadam, serta melancarkan serangan yang sengit terhadap pribadi Khomeini dan membatalkan perjanjian Algiers. Sedangkan Menlu Iran Shodeh Godzadeh berjanji untuk menumbangkan rezim Baath yang berkuasa di Irak serta memutuskan hubungan diplomatik. 3. Kedua negara saling menempatkan pasukan masing – masing di daerah perbatasan dalam jumlah yang cukup besar (Subaryana, 1997 : 28 – 29). Sengketa Atas Shatt al-Arab & Khuzestan E. Jalannya Perang Teluk 1 Peperangan Irak melawan Iran berjalan seimbang, tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang. Serangan dua pihak datang silih berganti. Apabila Iran menyerang Irak, di lain kesempatan Irak berganti menyerang Iran dan seterusnya sampai berjalan kurang lebih 8 tahun. Dalam peperangan ini Irak banyak memperoleh bantuan senjata dari negara-negara Barat seperti: Inggris, Perancis, dan Amerika Serikat, yang punya kepentingan di Timur Tengah dan batuan dari negara Arab yang tidak senang terhadap revolusi Islam Iran seperti Arab Saudi, Bahrain, Qatar, UEA, Oman, Mesir, Yordania, Kuwait, Palestina, dan Maroko. Perang Irak melawan Iran berakhir setelah Dewan keamanan PBB mengeluarkan sebuah Revolusi No. 598 yang menyerukan kedua pihak untuk melakukan gencatan senjata. Tiba-tiba Iran yang selama perang berlangsung selalu mengabaikan usulan damai, mengumumkan penghentian perang dengan Irak. Seorang penduduk Arab Saudi mengenakan masker gas yang dikeluarkan oleh pemerintah di Dhahran, Arab Saudi pada tanggal 10 Januari 1991. Warga diberikan masker gas sebelum Perang Teluk dalam perang tersebut Irak diperkirakan akan menggunakan senjata kimia selama konflik. F. Akibar dari Perang Teluk Perang Teluk I yang berlangsung sejak 1980 sampai 1988 membawa akibat seperti berikut: Kedua negara sama-sama rusak perekonomiannya Irak mewarisi senjata-senjata dari Barat sehingga kuat angkatan perangnya Timmbulnya kekhawatiran akan kekuatan angkatan perang Irak karena mewarisi persenjataan dari Barat. Timbulnya perpecahan negara-negara Arab baik yang pro Iran maupun pro Irak Pengaruh Barat semakin kuat di Irak Gencatan Senjata oleh tentara Irak Tentara Irak mengibarkan bendera putih saat mereka menyerah kepada tentara Mesir selama pertempuran darat di Kuwait pada tanggal 25 Februari 1991.

Van Niel, Robert. 2003. Sistem Tanam Paksa di Jawa. Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia

BAB 1
Fungsi Sewa Tanah pada Sistem Tanam Paksa di Jawa

Perkenalan dan operasi Sistem Tanam Paksa di Jawa berkaitan erat dengan pungutan sewa tanah. Reinsma secara jelas dan singkat mencatat itu dalam pendiriannya bahwa sewa tanah berlaku sebagai pengantara penting bagi pendayagunaan tenaga kerja dan tanah rakyat. Sewa tanah diperkealkan di Jawa semasa pemerintahan peralihan Inggris (1811-1816) oleh Sir Thomas Stamford Raffles, yang banyak menghimpun gagasan sewa tanah dari sistem pendapatan dari tanah India-Inggris. Sewa tanah di dasarkan pada pemikiran pokok mengenai hak penguasa sebagai pemilik semua tanah yang ada. Tanah di sewakan kepada kepala-kepala desa di seluruh Jawa yang pada gilirannya bertanggung jawab membagi tanah dan memungut sewa tanah tersebut. Menjelang tahun 1827, pemerintah Belanda mengeluarkan keputusan bahwa sebagian besar sewa tanah harus di bayar dalam bentuk emas atau perak dan sisanya tembaga. Raffles mengubah pikirannya tentang penilaian dan pemungutan yang secara langsung berhubungan dengan penanaman perorangan. Namun terbukti tidak dapat di jalankan dan, ketika Jawa dikembalikan ke Belanda, diambil keputusan untuk tetap mempertahankan sistem sewa tanah. Kebijakan kolonial Belanda terhadap Jawa memang mengalami berbagai peninjauan ulang selama tahun 1820an. Gubernur Jenderal Van der Cpellen telah menerapkan suatu kebijakan yang menjamin orang Jawa untuk menggunakan dan memetik hasil tanah mereka secara bebas, tetapi harus tetap membayar sewa tanah.
Di kabupaten-kabupaten Priangan sewa tanah tidak dijalankan serupa dengan bagian lain pulau Jawa. Kenyataan bahwa Van Den Bosch sering melandaskan perhitungan dan perbandingan dengan keadaan di Priangan justru hanya memperbesar ke kacauan pelaksanaan sistemnya. sistem sewa tanah mempengaruhi perkembangan social ekonomi dalam beberapa hal. Pertama, karena semua sumbangan wajib, kecuali kopi di Priangan, telah dihapuskan, hasil tanaman perdagangan, yang tidak popular untuk pasar luar negeri menurun. Kedua, kedudukan para bupati, yang kini dilucuti kekuasaannya untuk mengumpulkan jatah beras dan memeras jasa kuli, memburuk. Seluruh Strata pejabat pribumi rendahan yang telah dipekerjakan oleh para bupati sebagai penyewa/bekel mewakili kabupaten mereka, yaitu mereka yang disebut kepala perantara, dipecat. Ketiga, kedudukan kepala desa, yang sampai pada waktu itu hanyalah primus inter pares dari penduduk desa yang punya tanah, dinaikkan cukup tinggi. Dari tahun 1813 dan seterusnya, kepala desa adalah pejabat pemerintah yang bertanggung jawab atas semua pajak dan jasa, dan atas pembagian tanah-tanah desa. Keempat, pemilikan tanah pribadi secara turun temurun dalam banyka hal diubah menjadi milik bersama, yang setiap tahun dibagi bagi, dan sering dengan jatah yang sama.Kelima, Masuknya sistem baru ini didasarkan pada survey ekstensif atas tanah dan penduduk dan selnjutnya semua residen memberikan suatu laporan umum setiap tahun, berisi data penduduk dan pertanian.
Setelah abad berlalu Sistem Tanam Paksa tidak hanya dianggap sebagai sistem yang tidak liberal, perhatian pun semakin banyak di curahkan pada kekejaman dan kesewenang-wenangan pelaksanaan sistem ini di lapangan. Sistem Tanam Paksa jelas tidak dilaksanakan menurut seperangkat instruksi tunggal khusus dan tampaknya juga tidak sejalan dengan pernyataan-pernyataan pendirinya. Sebenarnya Van Den Bosch tidak pernah menginginkan Sistem Tanam Paksa berjalan demikian, itu bukan perhatian utamanya.



BAB 2 
Diperkenalkan Penanaman Tebu Pemerintahan  di Pasuruan, 1830

Penanaman tebu yang dierkenalkan di Jawa berlangsung jauh sebelum 1830 tetapi sistem baru yang sekarang membawa perubahan tentang bagaimana tanaman dagang dikelola sejak penanaman sampai penggilan untuk ekspor.penyelenggaraan tanaman tebu di bawah peraturan pemerintah setelah 1830 diputuskan pada perjanjian-perjanjian kontrak. Semula kontrak dengan desa-desa di Pasuruan memasukkan perhitungan harga panen dan pengangkutan batang tebu ke pabrik gula. Tetapi hal itu diubah pada tahun 1834. Kontrak-kontrak berlaku berikutnya hanya untuk penyediaan lahan penanaman dan pemeliharaan. Penebangan, dan pengangkutan serta kerja di pabrik gula dan penyerahan kayu bakar diatur dalam persetujuan tambahan antara pengusaha pabrik dengan desa. Sistem Tanam Paksa yang diperkenalkan di Jawa oleh Johannes van den Bosch pada 1830 mempunyai tujuan utama mendapatkan produksi komoditi di Jawa yang dapat dijual di pasar dunia.

BAB 3
Peraturan Produksi  Gula di Jawa, 1830-1840

Pabrik Gula Tjielendoek Cirebon di bangun pada awal 1830-an dengan menyediakan 600 bau tanah yang siap ditanami tebu. Perhitungan angkatan kerja yang biasa di pakai di daerah ini adalah empat orang per bau, masing-masing bekerja selama 3 bulan dalam setahun. Menjelang akhir 1834 terdapat lebiih dari 2600 keluarga ditambah lebih dari 400 kepala desa dan penguasa lokal yang bekerja untuk pabrik itu. Mereka berasal dari berbagai desa di sekitar pabrik dan tidak hanya memasok tenaga. Mereka juga menyediakan kerbau, bajak, pedati peralatan dan lain-lain.
Bila orang orang biasa desa Jawa tidak mengembangkan jiwa kewirausahaan penanaman tebu, maka kita mungkin dapat mengharapkan sesuatu yang lebih banyak dari orang Jawa kelas atas. Kegagalan mereka dalam menjalankan langkah pengembangan kegiatan yang lebih besar mungkin memppunyai akar penyebab pada faktor-faktor sosial dan budaya dalam masyarakat Jawa itu sendiri.

BAB  4
Tolok Ukur Perubahan Sistem Tanam Paksa di Jawa, 1837-1851

Sistem Tanam Paksa diperkenalkan di pulau Jawa pada 1830 bertepatan dengan kedatangan sang pencipta sistem yang amat bersemangat yaitu Johannes van den Bosch. Setahun sebelumnya Raja William I menugaskan dalam mewujudkan rencana menjadikan pulau Jawa sebagai penghasil komoditas pertanianyang dapat dijual di pasar dunia. Dua elemen penting dipersiapkan oleh van den bosch supaya produksi berbagai jenis tanaman dagang dapat mulai dijalankan yakni dengan menerapkan pembayaran presentase dan mendirikan Kantor Budidaya Tanaman.
Penyetoran kopi dengan mendapat sedikit atau tanpa imbalan diberlakukan di beberapa kabupaten di Jawa jauh sebelum sistem Tanam Paksa diperkenalkan, dan dalam artian tertentu kopi tidak dimasukan dalam rancangan van den Bosch. Namun kenyataan di lapangan sungguh berbeda. Mustahil meniadakan tanaman dagang yang memberi pendapatan terbesar ini dari seluruh rencana perekonomian dan Direktur Budidaya Tanaman itu sendiri sejak awal menyertakan kopi ke dalam laporan-laporannya.
Sejumlah kecil pohon nila ditanam di Jawa sejak zaman dulu, tetapi penanaman dan pengolahannya secara besar-besaran untuk ekspor baru diperkenalkan semasa Sistem Tanam Paksa. Nila ditanam di tanah-tanah nonirigasi, lahan yang sering juga digunakan untuk padi gogo atau palawija.

BAB 5
Kebijakan Pemerintah Sipil di Jawa Selama Masa Awal Sistem Tanam Paksa

Ketika mengarakterisasi aspek hukum pemerintahan sipil Hindia-Belanda masa-masa sebelu 1854- tahun terakhir dari serangkaian penyusunan Peraturan-peraturan Dasar Pemerintah yang dianggap sebagai landasan berpijak pemerintahan kolonial – Logeman menggunakan istilah negara polisi. Dilihat dari segi kepastian dan ketetapan hukum selama tahun 1816 sampai 1854.
Kurun waktu sampai dengan tahun 1830 menunjukan banyak sekali perubahan dalam kebijakan pemerintah Eropa di Jawa. Dengan hanya menyebut beberapa nama penting seperti Daendels, Raffles, Van der Capellen, dan Du Bus akan mengingatkan kita pada usaha-usaha pengembangan suatu strategi agar tanah jajahan bisa mendatangkan keuntungan. Tetapi di dalam semua strategi tersebut ada prinsip dasar yang tidak berubah. Prinsip ini secara luas dapat disamakan dengan istilah liberal, sebagaimana yang dipahami pada masa kemudian.
Tahun-tahun awal pemerintahan van den Bosch adalah masa yang penuh dengan tantangan. Pejabat-pejabat pemerintahan sipil Eropa di Jawa sulit diyakinkan dengan kemanjuran atau kebenaran rencana-rencananya. Ketika kekuasaan otokratis pemerintah di Negeri Belanda disingkirkan oleh revolusi libeal pada 1848, yang menempatkan kewenangan lebih besar dalam urusan politik di tangan parlemen Belanda, pemerintah daerah di Jawa sudah tertata dengan baik. Hampir semua panirama berubah secara mendadak pada 1836. Para administrator lokal menghimbau gubernur Jenderal de Eerens untuk menerima Peraturan Dasar Pemerintah


BAB 6
Komponen Tenaga Kerja Sistem Tanam Paksa di Jawa, 1830-1835

  Sistem Tanam Paksa yang diperkenalkan di Jawa pada 1830 membawa tekanan baru yang luar biasa terhadap masyarakat Jawa. Masa penjajahan yang sebenarnya dalam sejarah Jawa dimulai pada tahun 1830. Pemerintah Belanda untuk pertama kalinya mampu mengeksploitasi dan menguasai seluruh pulau ini. Tidak ada tantangan serius terhadap kekuasaan mereka sampai abad 20. Pihak Belanda juga telah mampu terlibat langsung di Jawa sampai daerah pedalaman. Dominasi politik akhirnya tercapai di seluruh Jawa pada tahun 1830. Kondisi finansial Belanda pada tahun 1830 ternyata tidak semulus dengan keberhasilannya menguasai Jawa. Keuntungan yang diperoleh dari penguasaannya di Jawa habis digunakan untuk biaya militer dan administrasi. Sulitnya kondisi finansial Belanda kemudian mendorong pemerintah Belanda untuk membuat berbagai kebijakan di daerah koloninya. Salah satu usaha penyelamatan keuangan tersebut adalah diterapkannya sistem tanam paksa atau culturstelsel.

BAB 7
Dampak Budidaya Tanaman Dagang Ekspor di Jawa Abad ke-19

Dalam tahun 1830 pemerintah Hindia Belanda mengangkat Gubernur Jendral baru untuk Indonesia yaitu Johannes Van Den Bosch, yang diserahi tugas utama untuk meningkatkan produksi tanaman ekspor yang terhenti selama sistem pajak tanah. Dalam membebankan Van Den Bosch denagn tugas yang tidak mudah ini, pemerintah Hindia Belanda terutama terdorong oleh keadaan yang parah dari keuangan negeri Belanda. Hal ini disebabkan budget pemerintah Belanda dibebani hutang – hutang yang besar. Oleh karena masalah yang gawat ini tidak dapat ditanggulangi oleh negeri Belanda sendiri, pikiran timbul untuk mencari pemecahannya di koloni- koloninya di Asia, salah satunya yaitu di indonesia. Hasil daripada pertimbangan- pertimbangan ini merupakan gagasan sistem tanam paksa yang diintroduksi oleh Van Den Bosch sendiri. 
Sistem tanam paksa mewajibkan para petani di Jawa untuk menanam tanaman – tanaman dagang untuk diekspor ke pasaran dunia. Walaupun antara sisitem eksploitasi VOC dan sistem tanam paksa terdapat persamanaan, khususnya dalam hal penyerahan wajib, namun pengaruh sistem tanam paksa atas kehidupan desa di Jawa jauh lebih dalam dan jauh lebih menggoncangkan daripada pengaruh VOC selama kurang lebih 2 abad. Ciri utama dari sistem tanam paksa yang diperkenalkan oleh Van Den Bosch adalah keharusan bagi rakyat di Jawa untuk membayar pajak mereka dalam bentuk barang yaitu hasil pertanian mereka dan bukan dalam bentuk uang seperti yang dilakukan selama sistem pajak tanah masih berlaku. Van Den Bosch mengharapkan agar dengan pungutan pajak in natura ini tanaman dagang bisa dikirimkan ke negeri Belanda untuk dijual kepada pembeli – pembeli dari Amerika dan seluruh Eropa dengan keuntungan besar bagi pemerintah dan penguasa – penguasa Belanda.

Sistem tanam paksa pada hakikatnya merupakan satu keping uang logam, disatu sisi tanam paksa merupakan penyebab penderitaan rakyat pada selang waktu antara tahun 1830 hingga 1870, namun disisi lain tanam paksa juga memiliki dampak positif beserta segala kebermanfataannya bagi masyarakat. Berdasarkan hal tersebut maka penyusun tertarik untuk melakukan satu kajian terhadap pelaksanaan sistem tanam paksa. Sehingga nantinya dapat dijadikan sebagai satu khasanah pengetahuan baru mengenai kerugian dan keuntungan pelaksanaan sistem tanam paksa di Indonesia bagi masyarakat Indonesia itu sendiri.

BAB 8
Hak atas Tanah di Jawa

Undang-Undang Agraria 1870 diberlakukan pada tahun 1870 oleh Engelbertus de Waal sebagai reaksi atas kebijakan pemerintah Hindia-Belanda di Jawa. Latar belakang dikeluarkannya Undang-Undang Agraria antara lain karena kesewenangan pemerintah mengambil alih tanah rakyat. Politikus liberal yang saat itu berkuasa di Belanda tidak setuju dengan Tanam Paksa di Jawa dan ingin membantu penduduk Jawa sambil sekaligus keuntungan ekonomi dari tanah jajahan dengan mengizinkan berdirinya sejumlah perusahaan swasta.
UU Agraria memastikan bahwa kepemilikan tanah di Jawa tercatat. Tanah penduduk dijamin sementara tanah tak bertuan dalam sewaan dapat diserahkan. UU ini dapat dikatakan mengawali berdirinya sejumlah perusahaan swasta di Hindia-Belanda. UU Agraria sering disebut sejalan dengan Undang-Undang Gula 1870, sebab kedua UU itu menimbulkan hasil dan konsekuensi besar atas perekonomian di Jawa. Pada tahun 1830 pada saat pemerintah penjajah hampir bangkrut setelah terlibat perang Jawa terbesar, Gubernur Jenderal Van den Bosch mendapat izin khusus melaksanakan sistem Tanam Paksa dengan tujuan utama mengisi kas pemerintahan jajahan yang kosong, atau menutup defisit anggaran pemerintah penjajahan.
Sistem tanam paksa berangkat dari asumsi bahwa desa-desa di Jawa berutang sewa tanah kepada pemerintah, yang biasanya diperhitungkan senilai 40% dari hasil panen utama desa yang bersangkutan. Van den Bosch ingin setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanam komoditi ekspor ke Eropa (kopi, tebu, dan nila). Penduduk dipaksa untuk menggunakan sebagian tanah garapan dan menyisihkan sebagian hari kerja untuk bekerja bagi pemerintah. Dengan mengikuti tanam paksa, desa akan mampu melunasi utang pajak tanahnya. Bila pendapatan desa dari penjualan komoditi ekspor itu lebih banyak daripada pajak tanah yang mesti dibayar, desa itu akan menerima kelebihannya. Jika kurang, desa tersebut mesti membayar kekurangan tadi dari sumber-sumber lain.
Sistem tanam paksa diperkenalkan secara perlahan sejak tahun 1830 sampai tahun 1835. Menjelang tahun 1840 sistem ini telah sepenuhnya berjalan di Jawa. Pemerintah kolonial memobilisasi lahan pertanian, kerbau, sapi, dan tenaga kerja yang serba gratis. Komoditas kopi, teh, tembakau, tebu, yang permintaannya di pasar dunia sedang membubung, dibudidayakan.
Bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda, sistem ini berhasil luar biasa. Karena antara
1831-1871 Batavia tidak hanya bisa membangun sendiri, melainkan punya hasil bersih 823 juta gulden untuk kas di Kerajaan Belanda. Umumnya, lebih dari 30 persen anggaran belanja kerajaan berasal kiriman dari Batavia. Pada 1860-an, 72% penerimaan Kerajaan Belanda disumbang dari Oost Indische atau Hindia Belanda. Langsung atau tidak langsung, Batavia menjadi sumber modal. Misalnya, membiayai kereta api nasional Belanda yang serba mewah. Kas kerajaan Belanda pun mengalami surplus.
Badan operasi sistem tanam paksa Nederlandsche Handel Maatchappij merupakan reinkarnasi VOC yang telah bangkrut.
Akibat tanam paksa ini, produksi beras semakin berkurang, dan harganya pun melambung. Pada tahun
1843, muncul bencana kelaparan di Cirebon, Jawa Barat. Kelaparan juga melanda Jawa Tengah, tahun 1850. Sistem tanam paksa yang kejam ini, setelah mendapat protes keras dari berbagai kalangan di Belanda, akhirnya dihapus pada tahun 1870, meskipun untuk tanaman kopi di luar Jawa masih terus berlangsung sampai 1915. Program yang dijalankan untuk menggantinya adalah sistem sewa tanah dalam UU Agraria 1870.
Berikut adalah isi dari aturan tanam paksa
  • Tuntutan kepada setiap rakyat Indonesia agar menyediakan tanah pertanian untuk cultuurstelsel tidak melebihi 20% atau seperlima bagian dari tanahnya untuk ditanami jenis tanaman perdagangan.
  • Pembebasan tanah yang disediakan untuk cultuurstelsel dari pajak, karena hasil tanamannya dianggap sebagai pembayaran pajak.
  • Rakyat yang tidak memiliki tanah pertanian dapat menggantinya dengan bekerja di perkebunan milik pemerintah Belanda atau di pabrik milik pemerintah Belanda selama 66 hari atau seperlima tahun.
  • Waktu untuk mengerjakan tanaman pada tanah pertanian untuk Culturstelsel tidak boleh melebihi waktu tanam padi atau kurang lebih 3 (tiga) bulan
  • Kelebihan hasil produksi pertanian dari ketentuan akan dikembalikan kepada rakyat
  • Kerusakan atau kerugian sebagai akibat gagal panen yang bukan karena kesalahan petani seperti bencana alam dan terserang hama, akan di tanggung pemerintah Belanda
  • Penyerahan teknik pelaksanaan aturan tanam paksa kepada kepala desa
Wolter Robert baron van Hoƫvell, pejuang Politk Etis
Serangan-serangan dari orang-orang non-pemerintah mulai menggencar akibat terjadinya kelaparan dan kemiskinan yang terjadi menjelang akhir 1840-an di Grobogan,Demak,Cirebon. Gejala kelaparan ini diangkat ke permukaan dan dijadikan isu bahwa pemerintah telah melakukan eksploitasi yang berlebihan terhadap bumiputra Jawa. Muncullah orang-orang humanis maupun praktisi Liberal menyusun serangan-serangan strategisnya. Dari bidang sastra muncul Multatuli (Eduard Douwes Dekker), di lapangan jurnalistik muncul E.S.W. Roorda van Eisinga, dan di bidang politik dipimpin oleh Baron van Hoevell. Dari sinilah muncul gagasan politik etis.

BAB 9
Jawa Abad ke-19 Variasi Tema Transformasi Perdesaan
Selama Perang Jawa berlangsung, pihak Belanda memikirkan berbagai rencana untuk memperoleh keuntungan besar dari koloni-koloninya terutama Pulau Jawa. Pada tahun 1829 Johannes Van den Bosch menyampaikan kepada Raja Belanda usulan-usulan yang kelak disebut culturstelsel.[1][4] Van den Bosch ingin menjadikan Jawa sebagai aset yang menguntungkan tanah air dalam tempo sesingkat mungkin dengan menghasilkan komoditi pertanian tropis, terutama kopi, gula, dan nila (indigo), dengan harga murah sehingga dapat bersaing dengan produk serupa dari belahan dunia lain. Van den Bosch menyarankan sebuah sistem yang dia klaim lebih sesuai dengan tradisi orang Jawa, yang didasarkan atas penanaman dan penyerahan secara paksa hasil bumi kepada pemerintah. Raja menyetuji usulan-usulan tersebut, dan pada bulan Januari 1830 Van den Bosch tiba di Jawa sebagai Gubernur Jenderal yang baru. Hindia Belanda telah terjadi dualisme ekonomi.
 Ia menganggap bahwa penetrasi kolonial terhadap Jawa merupakan suatu penetrasi yang statis. Artinya di Jawa secara bersamaan ada ekonomi Timur (Jawa) yang tetap tidak berkembang dan ekonomi Barat (Belanda) kapitalistik yang berkembang tanpa menyerap yang pertama. Dalam hal ini Jawa menanggapi ekspansi ekonomi Barat dengan ledakan penduduk sambil mempertahankan nafkah per kepalanya, sehingga ekonomi Jawa dikatakannya statis.
Seperti diketahui banyak kalangan peneliti sejarah, masa akhir abad ke XIX di Jawa merupakan periode yang sangat penting dalam sejarah Jawa. Pada masa ini di Jawa dan juga hampir di seluruh Indonesia berlangsung perubahan-perubahan di dalam masyarakat pribumi yang digerakkan oleh penetrasi kekuasaan langsung kolonial Belanda. Boeke dikritik banyak ahli lain karena tolok ukurnya ganda ketika melihat pertemuan Jawa dan Belanda. Ia melihat Jawa dari segi hubungan sosialnya, sementara Belanda dari sisi ekonomi kapitalistiknya, sehingga dikatakannya Jawa itu dilandasi oleh mentalitas homososial dan Belanda itu dilandasi homoekonomi. Jadi dari dasar metodologinya penjelasan Boeke dianggap kurang memadai. Sementara itu soal pertemuan budaya Timur dan Barat bagaimana pun harus dijelaskan lebih jauh dalam melihat transformasi sosial di Jawa.

BAB 10
Warisan Sistem Tanam Paksa bagi Perkembangan Ekonomi Berikutnya

Jauh sebelum Sistem Tanam Paksa diperkenalkan di Hindia-Belanda oleh Van den Bosch pada tahun 1830, pribumi khususnya petani Jawa telah lama berada dalam lingkaran kepatuhan terhadap para pejabat Jawa yang selalu mereka anggap sebagai pelindung. Kepatuhan itulah yang kemudian membawa mereka kedalam posisi yang semakin terpuruk. Terlebih setelah STP diterapkan.
STP atau yang juga dikenal dengan istilah cultuur stelsel memang nilai oleh banyak kalangan sebagai penanda perubahan kehidupan sosial-ekonomi di Indonesia. Kekejaman yang dirasakan oleh petani Jawa mungkin hanya sebagian dampak dari penerapannya.
Menjadikan negeri jajahan sebagai sapi perahan mungkin telah menjadi hal lumrah bagi pemerintah kolonial. Eksploitasi alam dan sumber daya manusia secara besar-besaran pun dilakukan demi memenuhi tuntutan kebutuhan ekspor di Negeri Belanda. Penduduk pribumi pun diminta atau lebih tepatnya dipaksa untuk menanam tanaman-tanaman yang dibutuhkan oleh warga dunia. Semakin hasil bumi tersebut dibutuhkan maka semkin tinggi nilainya sebagai komoditi ekspor dunia. Begitu pula yang terjadi di Indonesia, tanahnya yang subur membuat pemerintah koloial tidak bisa tidak memanfaatkannya untuk menghasilkan komiditi ekspor yang melimpah. 
Kondisi tersebut semakin diperparah oleh sikap petani Jawa yang selalu memegang teguh kepatuhan terhadap penguasanya. Mereka biasa bekerja menggarap tanah para pejabat dengan suka rela, tanpa upah apapun. Selain itu, mereka juga seringkali menyerahkan upeti atau hasil bumi kepada penguasanya. Budaya inilah yang kemudian mempermudah pemerintah kolonial dalam melaksanakan tanam paksa yang berujung pada pemerasan dan penghisapan secara brutal oleh para pejabat yang tamak serta haus akan kekuasaan. Memang tidak bisa dipungkiri, tanam paksa telah memaksa lahirnya tenaga-tenaga kerja murah di Indonesia. Bahkan setelah sietem tersebut dihapuskan, keberadaan tenaga kerja dengan harga rendah masih saja ada. Hingga saat ini pun Indonesia masih terkenal sebagai negara pengirim tenaga kerja termurah.
Dengan adanya tanam paksa maka Belanda pun terbukti berhasil meningkatkan komoditi ekspornya serta menunjukan kepada dunia Jawa dapat menghasilkan komoditi pertanian tertentu dengan cara murah. Hal tersebut membuat banyak investor asing semakin berminat untuk menanamkan modalnya di Hindia-Belanda. Setelah STP dihapuskan pemerintah kolonial pun membuka pintu selebar-lebarnya bagi para penanam modal untuk membuka usaha di Hindia. Pabrik dan perkebunan swasta pun ramai didirikan.
Keberadaan perusahaan-perusahaan asing tersebut juga banyak merusak sistem kepemilikan tanah pada pribumi. Kepemilikan tanah pribadi dan komunal di desa Jawa terpaksa terenggut oleh perusahaan asing tersebut, disewa dengan harga yang sangat rendah untuk jangka waktu yang tidak terbatas. Bukan hanya itu, petani pun masih saja dipaksa untuk bekerja di tanah mereka sendiri dengan upah minim. Mereka menanam tebu untuk pabrik-pabrik gula tanpa pernah bisa mencicipi manisnya gula.
Suburnnya penanaman modal pada akhir abad 19 di Jawa pun membuat tanam paksa semakin meluas, meskipun sejatinya sistem ini telah berakhir pada tahun 1870. Ironisnya, modal tersebut tidak sepenuhnya berasal dari pengusaha Eropa dan pemerintah. Di balik itu ada kekayaan pribumi yang mereka rampas.
Meski pemerintah Hindia-Belanda juga mengambil bagian penting dalam proses penanaman modal, akan tetapi pada akhirnya para pengusaha swasta lebih memilih menggunakan peraturan swasta liberal daripada bekerja dengan sistem pemerintah yang berbelit-belit. Mereka punh mendapat dukungan dari parlemen di negeri Belanda. Akhirnya, seteleah tahun 1880 aliran modal dari Eropa ke Jawa semakin besar dan Sistem Tanam Paksa berada dalam proses pembubaran secara resmi, meski pada kenyataannya masih juga terjadi.
Tulisan Robert van Niel ini banyak menyajikan infromasi mengenai pelaksanaan serta dampak dari pelaksanaan sistem Tanam Paksa secara rinci kedalam tiga pokok bahasan sesuai dengan perubahan sosial ekonomi dari pengaruh STP, yaitu pembentukan modal, tenaga kerja yang murah, dan ekonomi pedesaaan. Selain itu, ia juga mencoba menjelaskan tahapan penulisan sejarah Sistem Tanam Paksa.