Wedhusku

Sabtu, 09 Maret 2013

Resume Awal Kebangkitan Mataram



BAB I
Proses Islamisasi di Indonesia

Getas Pandawa mempunyai tujuh orang anak. Hanya seorang yang laki-laki yaitu Kiai Ageng Sela.  Putra yang satu-satunya laki-laki itu mendapatkan tujuh orang keturunan. Kali ini yang bungsulah yang laki-laki yaitu Kiai Ageng Ngenis. Kiai Ageng Ngenis kemudian menjadi ayah Kiai Ageng Pamanahan, yang makamnya terletak di kota gede, Mataram. Dalam Sadjarah Banten Kiai Ageng Sela dianggap nenek moyang dari pihak ibu. Pendapat ini didukung oleh “slacht reecqs” (silsilah) yang pada tahun 1677 disampaikan oleh pejabat istana Mataram Jaga Pati kepada Laksamana C. Speelman. Disebutkan bahwa Kiai Gede Sela bukan sebagai kakek di pihak ibu, tetapi hanya sebagai bapak mertua Kiai Gede Pamanahan dan disamping itu diberi nama “man van staat”(negarawan). Dari proses ini kita temukan suatu persesuaian di Demak. Dalam dongeng tradisional Banten yang asli, raja-raja Demak tidak secara langsung berasal dari raja-raja Majapahit, tetapi dari pihak ibu. Barulah keturunan laki-laki yang bernama cucu, setelah melakukan beberapa perbuatan kepahlawanan, memperoleh putri Majapahit yang menurunkan raja-raja selanjutnya (Djajadiningrat, Banten).
Kiai Ageng Sela bertindak sebagai guru. Jaka Tingkir, yang kemudian menjadi raja Pajang duduk menghadap. Maksud yang ditonjolkan adalah bahwa raja agung yang menguasai Pajang pernah berguru pada nenek moyang. Namun yang lebih penting adalah campur tangan Sela dengan urusan-urusan Demak. Kiai Ageng Sela disebutkan sebagai abdi Sultan. Untuk memperlihatkan kesaktiannya, dengan panahnya Sultan menghancurkan alat pengikat pelana pada perut kuda, karena terkejut tiba-tiba melompat dan melemparkan penunggangnya. Setelah itu Sultan mengeluarkan ucapan yang lebih jelas daripada dalam Babad Tanah Djawi. Karena malu, Sela pulang tanpa semangat dan dirumah ia menyelesaikan tapanya. Rupanya ia terlalu cepat bertindak.
Pada waktu Pangeran Sabrang Lor dari Demak meninggal, berkumpulah semua wali dan kiai di masjid besar. Setelah melakukan solat jum’at mereka pergi ke halaman depan masjid untuk memilih raja baru. Tampak cuaca yang sangat buruk di langit diiringi sambaran-sambaran halilintar. Muncullah “Gede Sela”. Ia tersambar halilintar, tetapi halilintar itu ditangkap dan di serahkan kepada para wali, yang membuat gambarnya di pinti gerbang utara masjid. Kemudian mereka berdoa agar masjid selamat dari sambaran petir.
Kiai Gede Pamanahan disebutkan menjadi saksi bagi kebesaran Jaka Tingkir sebagai raja Pajang, sedangkan putranya Senapati, dikatakan turut serta bekerja bagi jatuh dan tenggelamnya raja itu. Dengan demikian cerita tutur sengaja menempatkan timbulnya wangsa Mataram sejalan dengan tumbuh dan runtuhnya kerajaan Pajang yang tidak berumur panjang. Jaka Tingkir konon lahir di Pengging yang penuh rahasia. Tetapi Jaka Tingkir tidak dibesarkan di Pengging melainkan di Tingkir. Dalam Sadjarah Banten (Djajadiningrat, Banten) diberitakan bahwa perjalanan Jaka Tingkir ke Demak hanya satu kali, dengan eanehan-keanehan yang jauh menyimpang. Jadi Jaka Tingkir tidak mempunyai hubungan apapun dengan Pengging.
Pada tahun 1940 ketika dilakukan penggalian parit sedalam satu-dua meter terlihat fondamen batu-bata yang batu-batunya tidak direkatkan dengan kapur atau semen. Di halaman sekitarnya ditemukan batu-bata yang sangat besar. Sebagai salah satu monumen di atas tanah, berdirilah sebuah batu berbentuk kubus yang hampir tidak memperlihatkan hiasan yang disebut yoni.
Balik Babad Tanah Djawi maupun serat Kandha menyebutkan bahwa “Sultan Tranggana dari Demak meninggal dengan tenang di atas tempat tidurnya. satu-satunya sumber Jawa yang sedikit menyebutkan terjadinya perang di ujung timur Pulau Jawa, terdapat raja Demak itu kehilangan nyawa ialah Babad Sangkala, yang memberitakan peristiwa perang dengan Blambangan pada tahun Jawa 1468. Ini bertepatan dengan berita Pinto, tahun 1546 SM. Mengenai kekacauan yang selanjutnya ditimbulkan. Diceritakan setelah Jaka Tingkir tiba di Pajang, daerah ini semakin luas dan sejahtera. Setelah menerima berita bahwa bapak mertuanya yaitu Sultan, menderita sakit. Jaka Tingkir bergegas pergi ke Demak. Tetapi perhatian yang berupa kinjungan ini ternyata tidak lagi dapat membantu raja yang sakit itukarena beliau meninggal tidak lama kemudian dan dimakamkan di senelah barat masjid Demak.
Selanjutnya Jaka Tingkir di Pajang mengangkat banyak kawannya pada jabatan-jabatan tinggi. Dan tindakan ini diikuti oleh keberhasilannya naik ke Singasana. Maka Aria Mancanagara menjadi kepala pemerinta, Martanagara dan Wilamarta menjadi Tumenggung atau panglima, dan seterusnya. Jaka Tingkir sudah disebut sebagai Sultan dalam Babad Tanah Djawi, tetapi ini sesungguhnya terlalu cepat. Serat kandha membatasi diri pada gelar raja. Aria Panangsang dituduh telah banyak melakukan kejahatan dan pembunuhan, yakni atas pengganti Tranggana. Susuhunan Prawata dan permaisurinya begitu pula atas iparnya. Pangeran Kaliyamat juga dipersalahkan telah mengadakan percobaan pembunuhan atas diri raja Pajang.
BAB II
Struktur Birokrasi Kerajaan-kerajaan di Indonesia

Dalam perjalanan ke daerahnya yang baru, Kiai Gede Pamanahan selanjutnya bernama Kiai Gede Mataram.menurut Babad tanah Djawi disambut dan dijamu oleh Kiai Gede Karang Lo. Karena tokoh Kiai Gede Karang Lo tidak ada dalam Serat Kandha, maka terhapuslah alasan untuk mengadakan perbandingan dengan Babad Tanah Djawi. Tahun 1577 penting artinya bagi Mataram, karena menurut cerita tutur di sekitar tahun ini Keraton Mataram didirikan. Menurut Babad Tanah Djawi pada saat keraton Pleret jatuh pada saat kerajaan Mataram tepat satu abad. Keraton Pleret jatuh pada taggal 29 Juni 1677, pendirian keratin itu mestinya didahului oleh masa yang penuh dengan pertempuran dan kekacauan selama 20 tahun.tahun 1578 merupakan tahun berdirinya keraton Mataram, dan tahun 1584 adalah tahun meninggalnya Kiai Gede Pamanahan dan munculnya Senopati.
Mengenai mengenai meninggalnya Kiai Gede Mataram, Babad Tanah Djawi memberikan gambaran yang singkat sekali. Senapati diangkat oleh Sultan Pajang dalam keadaan damai sebagaimana mestinya. Kerabat Mataram dengan takzin hadir di alun-alun Pajang pada hari persidangan agung. Mengambil tempat dibawah pohon beringin bagi para pemohon, menyerahkan kepada kebijaksanaan Sultan, diantara kelima putra yang akan menggantikan gelar Petinggi Mataram (bukan gelar yang mentereng). Sebagai imbalan senapati memperoleh gelar jauh lebih mentereng daripada gelar yang pernah dipegang sebelumnyadan ternyata tidak berdasarkan sejarah. Piagam dan panitia pelantikan hanya terdapat dalam serat kandha. Kewajiban menghadap setiap tahun dianggap penting sekali oleh raja-raja yang kemudian dan menjadi pengikut kesetian bawahannya.
Keberatan pertama dalam tanah Babad Tanah Djawi dan satu-satunya dalam surat kandha adalah penyediaan perjamuan. Yang dimaksudkan hal ini ialah menjamu politik yang digunakan senapati untuk memikat tamu dengan cara jalan memeri hiburan dan kegembiraan. Keberatan yang kedua dalam Babad Tanah Djawi ialah mengenai alasan utama bagi kedatangan para utusan Pajang karena Senapati tidak menghadiri upacara sembah setiap tahun, pasti merupakan kesalahan yang besar sekali.
Sulitnya membedakan doa Senopati kepada Allah dan tapanya. Mungkin doa ini lebih mudah digambarkan sebagai konsentrasi pikiran dengan tujuan tertentu, dalam hal ini yaitu tercapainya kekuasaan tertinggi. Senapati yang menjadi sakti karena pemusatan pikirannya kepada Allah, ternyata mampu melakukan perbuatan-perbuatan yang ajaib. Bakatnya digambarkan sehebat-hebatnya, disamping kecerdasannya menggunakan bakat itu untuk kepentingan sendiri. Pihak Mataram lama-kelamaan dapat memupuk hubungan persahabatan yang sangat baik dengan rakyat Kedu dan Bagelen. Tetapi tiba-tiba suatu peristiwa terjadi dan mengganggu suasana yang rukun itu.
Setelah perebutan Madiun tidak ada lagi sukses besar dan mencolok yang diperoleh Seopati. Kemujuran yang sedikit berkaitan dengan tiadanya kerja sama dari Pati, yang telah mengundurkan diri setelah perkawinan Senapati dengan putri Madiun. Senopati mendapatkan tambahan kekuatan yang penting dari Kediri, lebih banyak dalam hal mutu daripada jumlah.
Senapati Mataram terdesak dalam posisi defensif terbukti dari sejarah gugurnya panglimanya. Para bupati Jawa Timur berkumpul di Madiun dengan tujuan hendak merebut Mataram. Yang menjadi pemimpinadalah Adipati Gending dan Adipati Pasagi. Di uter tentara kedua belah piha bertemu. Senapati Kediri perang tanding dengan pamannya, Adipati Pesagi (musuh pibadinya). Keduanya sama-sama gugur. Para kerabat Mataram naik Pitam dan mengadakan serangan sengit, menyapu bersih tentara Jawa Timur. Mereka kembali dengan membawa tawanan dan jenazah Senapati Kediri. Atas perintah raja jenazah Senapati Kediri dimakamkan di Wedi.
Pemberontakan Pati dalam Babad Tanah Djawi ditentukan setahun sebelum meninggalnya Senopati. Prof. Pijper pernah mengembangkan suatu hipotesa bahwa orang Muslim Jawa di daerah sekitar Gunung Muria ingin mengenang kembali tanah suci dan disekitarnya. Mekkah dapat ditemukan kembali dalam Demak, dan diadakan ziarah ke dua tempat itu. Kudus adalah salah satu tempat yang sedikit jumlahnya di Jawa dengan nama Arab, mungkin dipersamakan dengan Darusalam, yang oleh orang Arab disebut Al Kuds.

BAB III
Penetrasi Politik Barat dan Reaksi Kerajaan-Kerajaan di Indonesia
Dua kali ratu Jepara diajak turut serta melakukan serangan terhadap Malaka Portugis, dan kedua kali itu pula ajakan tersebut dipenuhi. Pada tahu 1550 raja Johor menulis sepucuk surat yang menganjurkan agar Ratu melakukan perang Jihad terhadap orang Portugis. Kaum Portugis ini dikatakan sedang lengah dan menderita berbagai kekurangan. Ratu menjawab ajakan itu dengan mengirimkan armada yang kuat. Panglima yang memimpin, seorang Jawa bernama Sang Adipati disebutkan sebagai orang yang sangat berani. Orang Jawa memang memberikan sumbangan penting pada usaha pengepungan Kota Malaka. Ketika pihak sekutu melayu mengakhiri pengepungannya karena takut pada armada Portugis terhadap kota-kota dan pelabuhan-pelabuhannya, pasukan Jawa masih tetap meneruskan pengepungannya.
Tetapi begitu orang Portugis mengadakan serangan balasan yang sengit, mereka pun mundur. Salah seorang pembesar Jawa gugur, dan espada e hum cris guarnacido de ouro (pedang dan keris berhias emas) jatuh ke tangan kaum kristen. Sekalipun mengalami kekalahan, ratu Jepara masih tetap berkuasa dan terus berusaha melakukan serangan lagi. Pada tahun 1573 beliau sekali lagi diajak melakukan ekspedisi dan menyerang Malaka. Sekalipun ratu Jepara sangat bersemangat untuk berjuang melawan orang Portugis, armadanya tidak muncul pada waktunya. Keterlambatan ini sangat menguntungkan orang Portugis.
Selesai pertemuan di kudus, Aria Panangsang segera pulang. Ttetapi raja Pajang masih ada di kubunya untuk berunding jauh dari Kudus. Raja itu berjanji menghadiahkan tanah Mataram dan tanah Pati kepada yang bisa mengalahkan Panangsang. Hanya Kiai Gede Pamanahan dan Panjawi yang berani. Kemudian Raja Pajang mundur lebih jauh dari Kudus, begitu pula Aria Panangsang. Mereka berhenti di sebelah-menyebelah Sungai Sore. Gambaran pertempuran tidak memperlihatkan penyimpangan besar. Tombak Kiai Plered melukai sangat parah perut Aria Panangsang, sebaliknya Panangsang melukai kuda hitam musuhnya. Aria Panangsang jatuh kedalam jebakan sebelum garis pertahanan Pajang.
Kiai Gede Pamanahan dan Ki Panjawi memutuskan untuk menampilkan diri sebagai pemenang, mereka memperoleh tanah Pati dan tanah Mataram. Setelah itu keduanya diutus ke Gunung Danareja untuk menyampaikanberita kemenangan pada ratu Kalinyamat. Ratu ini selanjutnya menghadiahkan Menjangan-Bang kepada Kiai Gede Pamanahan dan Uluk kepada iparnya, berikut seorang perawan yang masih muda dan sangat cantik dari keluarga baik-baik. Dan selanjutnya dititipkan untuk sementara pada Pamanahan. Kebimbangan untuk menyerahkan tanah Mataram dan campur tangan Sunan Kalijaga, tidak terdapat dalam Serat Kandha yang biasanya melaporkan seadanya tentang tokoh ini.
Sebelum menyejajarkan berita-berita lain tentang kejadian ini, akan dinilai kebenaran cerita tutur Mataram ini. Pertama, penyerahan dua daerah yang sangat penting Pati dan Mataram sebagai hadiah dari suatu faktakepahlawanan saja terdengar lebih mirip dengan dongeng daripada sejarah. Kedua, pembagian hadiah tanah itu sendiri tampaknya sangat aneh, jika dikatakan tidak adil. Ketiga, daerah yang gersang ini dengan hanya 800 cacah jiwa belum diberikan juga, paling tidak demikianlah menurut Babad Tanah Djawi. Alasan bahwa raja Pajang ingin memberikan sesuatu yang lebih baik kepada pengikutnya yang kecewa tidak begitu menyalahkan. Keempat, tapa yang dilakukan oleh Pamanahanyang kecewa itu tampaknya boleh dikatakan merupakan suatu tanda tidak senang. Kelima, adanya seorang gadis Jepara yang cantik yang disediakan raja Pajang tetapi dititipkan terlebih dahulu kepada Kiai Gede Pamanahan(Mataram) kelihatan sangat mencurigakan. DR. H.J DE GRAAF. AWAL KEBANGKITAN MATARAM, Jakarta, Grafiti Pers, 1985

Tidak ada komentar:

Posting Komentar