BAB I
Proses
Islamisasi di Indonesia
Getas Pandawa mempunyai tujuh orang
anak. Hanya seorang yang laki-laki yaitu Kiai Ageng Sela. Putra yang satu-satunya laki-laki itu
mendapatkan tujuh orang keturunan. Kali ini yang bungsulah yang laki-laki yaitu
Kiai Ageng Ngenis. Kiai Ageng Ngenis kemudian menjadi ayah Kiai Ageng
Pamanahan, yang makamnya terletak di kota gede, Mataram. Dalam Sadjarah Banten
Kiai Ageng Sela dianggap nenek moyang dari pihak ibu. Pendapat ini didukung
oleh “slacht reecqs” (silsilah) yang pada tahun 1677 disampaikan oleh pejabat
istana Mataram Jaga Pati kepada Laksamana C. Speelman. Disebutkan bahwa Kiai
Gede Sela bukan sebagai kakek di pihak ibu, tetapi hanya sebagai bapak mertua
Kiai Gede Pamanahan dan disamping itu diberi nama “man van staat”(negarawan).
Dari proses ini kita temukan suatu persesuaian di Demak. Dalam dongeng
tradisional Banten yang asli, raja-raja Demak tidak secara langsung berasal
dari raja-raja Majapahit, tetapi dari pihak ibu. Barulah keturunan laki-laki
yang bernama cucu, setelah melakukan beberapa perbuatan kepahlawanan,
memperoleh putri Majapahit yang menurunkan raja-raja selanjutnya
(Djajadiningrat, Banten).
Kiai Ageng Sela bertindak sebagai guru.
Jaka Tingkir, yang kemudian menjadi raja Pajang duduk menghadap. Maksud yang
ditonjolkan adalah bahwa raja agung yang menguasai Pajang pernah berguru pada
nenek moyang. Namun yang lebih penting adalah campur tangan Sela dengan
urusan-urusan Demak. Kiai Ageng Sela disebutkan sebagai abdi Sultan. Untuk
memperlihatkan kesaktiannya, dengan panahnya Sultan menghancurkan alat pengikat
pelana pada perut kuda, karena terkejut tiba-tiba melompat dan melemparkan
penunggangnya. Setelah itu Sultan mengeluarkan ucapan yang lebih jelas daripada
dalam Babad Tanah Djawi. Karena malu, Sela pulang tanpa semangat dan dirumah ia
menyelesaikan tapanya. Rupanya ia terlalu cepat bertindak.
Pada waktu Pangeran Sabrang Lor dari
Demak meninggal, berkumpulah semua wali dan kiai di masjid besar. Setelah
melakukan solat jum’at mereka pergi ke halaman depan masjid untuk memilih raja
baru. Tampak cuaca yang sangat buruk di langit diiringi sambaran-sambaran
halilintar. Muncullah “Gede Sela”. Ia tersambar halilintar, tetapi halilintar
itu ditangkap dan di serahkan kepada para wali, yang membuat gambarnya di pinti
gerbang utara masjid. Kemudian mereka berdoa agar masjid selamat dari sambaran
petir.
Kiai Gede Pamanahan disebutkan menjadi
saksi bagi kebesaran Jaka Tingkir sebagai raja Pajang, sedangkan putranya
Senapati, dikatakan turut serta bekerja bagi jatuh dan tenggelamnya raja itu.
Dengan demikian cerita tutur sengaja menempatkan timbulnya wangsa Mataram
sejalan dengan tumbuh dan runtuhnya kerajaan Pajang yang tidak berumur panjang.
Jaka Tingkir konon lahir di Pengging yang penuh rahasia. Tetapi Jaka Tingkir
tidak dibesarkan di Pengging melainkan di Tingkir. Dalam Sadjarah Banten
(Djajadiningrat, Banten) diberitakan bahwa perjalanan Jaka Tingkir ke Demak
hanya satu kali, dengan eanehan-keanehan yang jauh menyimpang. Jadi Jaka
Tingkir tidak mempunyai hubungan apapun dengan Pengging.
Pada tahun 1940 ketika dilakukan
penggalian parit sedalam satu-dua meter terlihat fondamen batu-bata yang
batu-batunya tidak direkatkan dengan kapur atau semen. Di halaman sekitarnya
ditemukan batu-bata yang sangat besar. Sebagai salah satu monumen di atas
tanah, berdirilah sebuah batu berbentuk kubus yang hampir tidak memperlihatkan
hiasan yang disebut yoni.
Balik Babad Tanah Djawi maupun serat
Kandha menyebutkan bahwa “Sultan Tranggana dari Demak meninggal dengan tenang
di atas tempat tidurnya. satu-satunya sumber Jawa yang sedikit menyebutkan
terjadinya perang di ujung timur Pulau Jawa, terdapat raja Demak itu kehilangan
nyawa ialah Babad Sangkala, yang memberitakan peristiwa perang dengan
Blambangan pada tahun Jawa 1468. Ini bertepatan dengan berita Pinto, tahun 1546
SM. Mengenai kekacauan yang selanjutnya ditimbulkan. Diceritakan setelah Jaka
Tingkir tiba di Pajang, daerah ini semakin luas dan sejahtera. Setelah menerima
berita bahwa bapak mertuanya yaitu Sultan, menderita sakit. Jaka Tingkir
bergegas pergi ke Demak. Tetapi perhatian yang berupa kinjungan ini ternyata
tidak lagi dapat membantu raja yang sakit itukarena beliau meninggal tidak lama
kemudian dan dimakamkan di senelah barat masjid Demak.
Selanjutnya Jaka Tingkir di Pajang mengangkat
banyak kawannya pada jabatan-jabatan tinggi. Dan tindakan ini diikuti oleh
keberhasilannya naik ke Singasana. Maka Aria Mancanagara menjadi kepala
pemerinta, Martanagara dan Wilamarta menjadi Tumenggung atau panglima, dan
seterusnya. Jaka Tingkir sudah disebut sebagai Sultan dalam Babad Tanah Djawi,
tetapi ini sesungguhnya terlalu cepat. Serat kandha membatasi diri pada gelar
raja. Aria Panangsang dituduh telah banyak melakukan kejahatan dan pembunuhan,
yakni atas pengganti Tranggana. Susuhunan Prawata dan permaisurinya begitu pula
atas iparnya. Pangeran Kaliyamat juga dipersalahkan telah mengadakan percobaan
pembunuhan atas diri raja Pajang.
BAB II
Struktur Birokrasi Kerajaan-kerajaan di Indonesia
Dalam perjalanan ke daerahnya yang
baru, Kiai Gede Pamanahan selanjutnya bernama Kiai Gede Mataram.menurut Babad
tanah Djawi disambut dan dijamu oleh Kiai Gede Karang Lo. Karena tokoh Kiai
Gede Karang Lo tidak ada dalam Serat Kandha, maka terhapuslah alasan untuk
mengadakan perbandingan dengan Babad Tanah Djawi. Tahun 1577 penting artinya
bagi Mataram, karena menurut cerita tutur di sekitar tahun ini Keraton Mataram
didirikan. Menurut Babad Tanah Djawi pada saat keraton Pleret jatuh pada saat kerajaan
Mataram tepat satu abad. Keraton Pleret jatuh pada taggal 29 Juni 1677,
pendirian keratin itu mestinya didahului oleh masa yang penuh dengan
pertempuran dan kekacauan selama 20 tahun.tahun 1578 merupakan tahun berdirinya
keraton Mataram, dan tahun 1584 adalah tahun meninggalnya Kiai Gede Pamanahan
dan munculnya Senopati.
Mengenai
mengenai meninggalnya Kiai Gede Mataram, Babad Tanah Djawi memberikan gambaran
yang singkat sekali. Senapati diangkat oleh Sultan Pajang dalam keadaan damai
sebagaimana mestinya. Kerabat Mataram dengan takzin hadir di alun-alun Pajang
pada hari persidangan agung. Mengambil tempat dibawah pohon beringin bagi para
pemohon, menyerahkan kepada kebijaksanaan Sultan, diantara kelima putra yang
akan menggantikan gelar Petinggi Mataram (bukan gelar yang mentereng). Sebagai
imbalan senapati memperoleh gelar jauh lebih mentereng daripada gelar yang
pernah dipegang sebelumnyadan ternyata tidak berdasarkan sejarah. Piagam dan
panitia pelantikan hanya terdapat dalam serat kandha. Kewajiban menghadap
setiap tahun dianggap penting sekali oleh raja-raja yang kemudian dan menjadi
pengikut kesetian bawahannya.
Keberatan
pertama dalam tanah Babad Tanah Djawi dan satu-satunya dalam surat kandha
adalah penyediaan perjamuan. Yang dimaksudkan hal ini ialah menjamu politik
yang digunakan senapati untuk memikat tamu dengan cara jalan memeri hiburan dan
kegembiraan. Keberatan yang kedua dalam Babad Tanah Djawi ialah mengenai alasan
utama bagi kedatangan para utusan Pajang karena Senapati tidak menghadiri
upacara sembah setiap tahun, pasti merupakan kesalahan yang besar sekali.
Sulitnya
membedakan doa Senopati kepada Allah dan tapanya. Mungkin doa ini lebih mudah
digambarkan sebagai konsentrasi pikiran dengan tujuan tertentu, dalam hal ini
yaitu tercapainya kekuasaan tertinggi. Senapati yang menjadi sakti karena
pemusatan pikirannya kepada Allah, ternyata mampu melakukan perbuatan-perbuatan
yang ajaib. Bakatnya digambarkan sehebat-hebatnya, disamping kecerdasannya
menggunakan bakat itu untuk kepentingan sendiri. Pihak Mataram lama-kelamaan
dapat memupuk hubungan persahabatan yang sangat baik dengan rakyat Kedu dan
Bagelen. Tetapi tiba-tiba suatu peristiwa terjadi dan mengganggu suasana yang
rukun itu.
Setelah
perebutan Madiun tidak ada lagi sukses besar dan mencolok yang diperoleh
Seopati. Kemujuran yang sedikit berkaitan dengan tiadanya kerja sama dari Pati,
yang telah mengundurkan diri setelah perkawinan Senapati dengan putri Madiun.
Senopati mendapatkan tambahan kekuatan yang penting dari Kediri, lebih banyak
dalam hal mutu daripada jumlah.
Senapati
Mataram terdesak dalam posisi defensif terbukti dari sejarah gugurnya
panglimanya. Para bupati Jawa Timur berkumpul di Madiun dengan tujuan hendak
merebut Mataram. Yang menjadi pemimpinadalah Adipati Gending dan Adipati
Pasagi. Di uter tentara kedua belah piha bertemu. Senapati Kediri perang
tanding dengan pamannya, Adipati Pesagi (musuh pibadinya). Keduanya sama-sama
gugur. Para kerabat Mataram naik Pitam dan mengadakan serangan sengit, menyapu
bersih tentara Jawa Timur. Mereka kembali dengan membawa tawanan dan jenazah
Senapati Kediri. Atas perintah raja jenazah Senapati Kediri dimakamkan di Wedi.
Pemberontakan
Pati dalam Babad Tanah Djawi ditentukan setahun sebelum meninggalnya Senopati.
Prof. Pijper pernah mengembangkan suatu hipotesa bahwa orang Muslim Jawa di
daerah sekitar Gunung Muria ingin mengenang kembali tanah suci dan
disekitarnya. Mekkah dapat ditemukan kembali dalam Demak, dan diadakan ziarah
ke dua tempat itu. Kudus adalah salah satu tempat yang sedikit jumlahnya di
Jawa dengan nama Arab, mungkin dipersamakan dengan Darusalam, yang oleh orang
Arab disebut Al Kuds.
BAB III
Penetrasi Politik Barat dan Reaksi Kerajaan-Kerajaan di
Indonesia
Dua kali ratu Jepara diajak turut serta
melakukan serangan terhadap Malaka Portugis, dan kedua kali itu pula ajakan
tersebut dipenuhi. Pada tahu 1550 raja Johor menulis sepucuk surat yang
menganjurkan agar Ratu melakukan perang Jihad terhadap orang Portugis. Kaum
Portugis ini dikatakan sedang lengah dan menderita berbagai kekurangan. Ratu
menjawab ajakan itu dengan mengirimkan armada yang kuat. Panglima yang
memimpin, seorang Jawa bernama Sang Adipati disebutkan sebagai orang yang
sangat berani. Orang Jawa memang memberikan sumbangan penting pada usaha pengepungan
Kota Malaka. Ketika pihak sekutu melayu mengakhiri pengepungannya karena takut
pada armada Portugis terhadap kota-kota dan pelabuhan-pelabuhannya, pasukan
Jawa masih tetap meneruskan pengepungannya.
Tetapi begitu orang Portugis mengadakan
serangan balasan yang sengit, mereka pun mundur. Salah seorang pembesar Jawa
gugur, dan espada e hum cris guarnacido de ouro (pedang dan keris berhias emas)
jatuh ke tangan kaum kristen. Sekalipun mengalami kekalahan, ratu Jepara masih
tetap berkuasa dan terus berusaha melakukan serangan lagi. Pada tahun 1573
beliau sekali lagi diajak melakukan ekspedisi dan menyerang Malaka. Sekalipun
ratu Jepara sangat bersemangat untuk berjuang melawan orang Portugis, armadanya
tidak muncul pada waktunya. Keterlambatan ini sangat menguntungkan orang
Portugis.
Selesai pertemuan di kudus, Aria
Panangsang segera pulang. Ttetapi raja Pajang masih ada di kubunya untuk
berunding jauh dari Kudus. Raja itu berjanji menghadiahkan tanah Mataram dan
tanah Pati kepada yang bisa mengalahkan Panangsang. Hanya Kiai Gede Pamanahan
dan Panjawi yang berani. Kemudian Raja Pajang mundur lebih jauh dari Kudus,
begitu pula Aria Panangsang. Mereka berhenti di sebelah-menyebelah Sungai Sore.
Gambaran pertempuran tidak memperlihatkan penyimpangan besar. Tombak Kiai
Plered melukai sangat parah perut Aria Panangsang, sebaliknya Panangsang
melukai kuda hitam musuhnya. Aria Panangsang jatuh kedalam jebakan sebelum
garis pertahanan Pajang.
Kiai Gede Pamanahan dan Ki Panjawi
memutuskan untuk menampilkan diri sebagai pemenang, mereka memperoleh tanah
Pati dan tanah Mataram. Setelah itu keduanya diutus ke Gunung Danareja untuk
menyampaikanberita kemenangan pada ratu Kalinyamat. Ratu ini selanjutnya
menghadiahkan Menjangan-Bang kepada Kiai Gede Pamanahan dan Uluk kepada
iparnya, berikut seorang perawan yang masih muda dan sangat cantik dari
keluarga baik-baik. Dan selanjutnya dititipkan untuk sementara pada Pamanahan.
Kebimbangan untuk menyerahkan tanah Mataram dan campur tangan Sunan Kalijaga,
tidak terdapat dalam Serat Kandha yang biasanya melaporkan seadanya tentang
tokoh ini.
Sebelum menyejajarkan berita-berita
lain tentang kejadian ini, akan dinilai kebenaran cerita tutur Mataram ini. Pertama,
penyerahan dua daerah yang sangat penting Pati dan Mataram sebagai hadiah dari
suatu faktakepahlawanan saja terdengar lebih mirip dengan dongeng daripada
sejarah. Kedua, pembagian hadiah tanah itu sendiri tampaknya sangat aneh, jika
dikatakan tidak adil. Ketiga, daerah yang gersang ini dengan hanya 800 cacah
jiwa belum diberikan juga, paling tidak demikianlah menurut Babad Tanah Djawi.
Alasan bahwa raja Pajang ingin memberikan sesuatu yang lebih baik kepada
pengikutnya yang kecewa tidak begitu menyalahkan. Keempat, tapa yang dilakukan
oleh Pamanahanyang kecewa itu tampaknya boleh dikatakan merupakan suatu tanda
tidak senang. Kelima, adanya seorang gadis Jepara yang cantik yang disediakan
raja Pajang tetapi dititipkan terlebih dahulu kepada Kiai Gede Pamanahan(Mataram)
kelihatan sangat mencurigakan. DR.
H.J DE GRAAF. AWAL KEBANGKITAN MATARAM, Jakarta,
Grafiti Pers, 1985
Tidak ada komentar:
Posting Komentar