Wedhusku

Jumat, 15 November 2013

Van Niel, Robert. 2003. Sistem Tanam Paksa di Jawa. Jakarta : Pustaka LP3ES Indonesia

BAB 1
Fungsi Sewa Tanah pada Sistem Tanam Paksa di Jawa

Perkenalan dan operasi Sistem Tanam Paksa di Jawa berkaitan erat dengan pungutan sewa tanah. Reinsma secara jelas dan singkat mencatat itu dalam pendiriannya bahwa sewa tanah berlaku sebagai pengantara penting bagi pendayagunaan tenaga kerja dan tanah rakyat. Sewa tanah diperkealkan di Jawa semasa pemerintahan peralihan Inggris (1811-1816) oleh Sir Thomas Stamford Raffles, yang banyak menghimpun gagasan sewa tanah dari sistem pendapatan dari tanah India-Inggris. Sewa tanah di dasarkan pada pemikiran pokok mengenai hak penguasa sebagai pemilik semua tanah yang ada. Tanah di sewakan kepada kepala-kepala desa di seluruh Jawa yang pada gilirannya bertanggung jawab membagi tanah dan memungut sewa tanah tersebut. Menjelang tahun 1827, pemerintah Belanda mengeluarkan keputusan bahwa sebagian besar sewa tanah harus di bayar dalam bentuk emas atau perak dan sisanya tembaga. Raffles mengubah pikirannya tentang penilaian dan pemungutan yang secara langsung berhubungan dengan penanaman perorangan. Namun terbukti tidak dapat di jalankan dan, ketika Jawa dikembalikan ke Belanda, diambil keputusan untuk tetap mempertahankan sistem sewa tanah. Kebijakan kolonial Belanda terhadap Jawa memang mengalami berbagai peninjauan ulang selama tahun 1820an. Gubernur Jenderal Van der Cpellen telah menerapkan suatu kebijakan yang menjamin orang Jawa untuk menggunakan dan memetik hasil tanah mereka secara bebas, tetapi harus tetap membayar sewa tanah.
Di kabupaten-kabupaten Priangan sewa tanah tidak dijalankan serupa dengan bagian lain pulau Jawa. Kenyataan bahwa Van Den Bosch sering melandaskan perhitungan dan perbandingan dengan keadaan di Priangan justru hanya memperbesar ke kacauan pelaksanaan sistemnya. sistem sewa tanah mempengaruhi perkembangan social ekonomi dalam beberapa hal. Pertama, karena semua sumbangan wajib, kecuali kopi di Priangan, telah dihapuskan, hasil tanaman perdagangan, yang tidak popular untuk pasar luar negeri menurun. Kedua, kedudukan para bupati, yang kini dilucuti kekuasaannya untuk mengumpulkan jatah beras dan memeras jasa kuli, memburuk. Seluruh Strata pejabat pribumi rendahan yang telah dipekerjakan oleh para bupati sebagai penyewa/bekel mewakili kabupaten mereka, yaitu mereka yang disebut kepala perantara, dipecat. Ketiga, kedudukan kepala desa, yang sampai pada waktu itu hanyalah primus inter pares dari penduduk desa yang punya tanah, dinaikkan cukup tinggi. Dari tahun 1813 dan seterusnya, kepala desa adalah pejabat pemerintah yang bertanggung jawab atas semua pajak dan jasa, dan atas pembagian tanah-tanah desa. Keempat, pemilikan tanah pribadi secara turun temurun dalam banyka hal diubah menjadi milik bersama, yang setiap tahun dibagi bagi, dan sering dengan jatah yang sama.Kelima, Masuknya sistem baru ini didasarkan pada survey ekstensif atas tanah dan penduduk dan selnjutnya semua residen memberikan suatu laporan umum setiap tahun, berisi data penduduk dan pertanian.
Setelah abad berlalu Sistem Tanam Paksa tidak hanya dianggap sebagai sistem yang tidak liberal, perhatian pun semakin banyak di curahkan pada kekejaman dan kesewenang-wenangan pelaksanaan sistem ini di lapangan. Sistem Tanam Paksa jelas tidak dilaksanakan menurut seperangkat instruksi tunggal khusus dan tampaknya juga tidak sejalan dengan pernyataan-pernyataan pendirinya. Sebenarnya Van Den Bosch tidak pernah menginginkan Sistem Tanam Paksa berjalan demikian, itu bukan perhatian utamanya.



BAB 2 
Diperkenalkan Penanaman Tebu Pemerintahan  di Pasuruan, 1830

Penanaman tebu yang dierkenalkan di Jawa berlangsung jauh sebelum 1830 tetapi sistem baru yang sekarang membawa perubahan tentang bagaimana tanaman dagang dikelola sejak penanaman sampai penggilan untuk ekspor.penyelenggaraan tanaman tebu di bawah peraturan pemerintah setelah 1830 diputuskan pada perjanjian-perjanjian kontrak. Semula kontrak dengan desa-desa di Pasuruan memasukkan perhitungan harga panen dan pengangkutan batang tebu ke pabrik gula. Tetapi hal itu diubah pada tahun 1834. Kontrak-kontrak berlaku berikutnya hanya untuk penyediaan lahan penanaman dan pemeliharaan. Penebangan, dan pengangkutan serta kerja di pabrik gula dan penyerahan kayu bakar diatur dalam persetujuan tambahan antara pengusaha pabrik dengan desa. Sistem Tanam Paksa yang diperkenalkan di Jawa oleh Johannes van den Bosch pada 1830 mempunyai tujuan utama mendapatkan produksi komoditi di Jawa yang dapat dijual di pasar dunia.

BAB 3
Peraturan Produksi  Gula di Jawa, 1830-1840

Pabrik Gula Tjielendoek Cirebon di bangun pada awal 1830-an dengan menyediakan 600 bau tanah yang siap ditanami tebu. Perhitungan angkatan kerja yang biasa di pakai di daerah ini adalah empat orang per bau, masing-masing bekerja selama 3 bulan dalam setahun. Menjelang akhir 1834 terdapat lebiih dari 2600 keluarga ditambah lebih dari 400 kepala desa dan penguasa lokal yang bekerja untuk pabrik itu. Mereka berasal dari berbagai desa di sekitar pabrik dan tidak hanya memasok tenaga. Mereka juga menyediakan kerbau, bajak, pedati peralatan dan lain-lain.
Bila orang orang biasa desa Jawa tidak mengembangkan jiwa kewirausahaan penanaman tebu, maka kita mungkin dapat mengharapkan sesuatu yang lebih banyak dari orang Jawa kelas atas. Kegagalan mereka dalam menjalankan langkah pengembangan kegiatan yang lebih besar mungkin memppunyai akar penyebab pada faktor-faktor sosial dan budaya dalam masyarakat Jawa itu sendiri.

BAB  4
Tolok Ukur Perubahan Sistem Tanam Paksa di Jawa, 1837-1851

Sistem Tanam Paksa diperkenalkan di pulau Jawa pada 1830 bertepatan dengan kedatangan sang pencipta sistem yang amat bersemangat yaitu Johannes van den Bosch. Setahun sebelumnya Raja William I menugaskan dalam mewujudkan rencana menjadikan pulau Jawa sebagai penghasil komoditas pertanianyang dapat dijual di pasar dunia. Dua elemen penting dipersiapkan oleh van den bosch supaya produksi berbagai jenis tanaman dagang dapat mulai dijalankan yakni dengan menerapkan pembayaran presentase dan mendirikan Kantor Budidaya Tanaman.
Penyetoran kopi dengan mendapat sedikit atau tanpa imbalan diberlakukan di beberapa kabupaten di Jawa jauh sebelum sistem Tanam Paksa diperkenalkan, dan dalam artian tertentu kopi tidak dimasukan dalam rancangan van den Bosch. Namun kenyataan di lapangan sungguh berbeda. Mustahil meniadakan tanaman dagang yang memberi pendapatan terbesar ini dari seluruh rencana perekonomian dan Direktur Budidaya Tanaman itu sendiri sejak awal menyertakan kopi ke dalam laporan-laporannya.
Sejumlah kecil pohon nila ditanam di Jawa sejak zaman dulu, tetapi penanaman dan pengolahannya secara besar-besaran untuk ekspor baru diperkenalkan semasa Sistem Tanam Paksa. Nila ditanam di tanah-tanah nonirigasi, lahan yang sering juga digunakan untuk padi gogo atau palawija.

BAB 5
Kebijakan Pemerintah Sipil di Jawa Selama Masa Awal Sistem Tanam Paksa

Ketika mengarakterisasi aspek hukum pemerintahan sipil Hindia-Belanda masa-masa sebelu 1854- tahun terakhir dari serangkaian penyusunan Peraturan-peraturan Dasar Pemerintah yang dianggap sebagai landasan berpijak pemerintahan kolonial – Logeman menggunakan istilah negara polisi. Dilihat dari segi kepastian dan ketetapan hukum selama tahun 1816 sampai 1854.
Kurun waktu sampai dengan tahun 1830 menunjukan banyak sekali perubahan dalam kebijakan pemerintah Eropa di Jawa. Dengan hanya menyebut beberapa nama penting seperti Daendels, Raffles, Van der Capellen, dan Du Bus akan mengingatkan kita pada usaha-usaha pengembangan suatu strategi agar tanah jajahan bisa mendatangkan keuntungan. Tetapi di dalam semua strategi tersebut ada prinsip dasar yang tidak berubah. Prinsip ini secara luas dapat disamakan dengan istilah liberal, sebagaimana yang dipahami pada masa kemudian.
Tahun-tahun awal pemerintahan van den Bosch adalah masa yang penuh dengan tantangan. Pejabat-pejabat pemerintahan sipil Eropa di Jawa sulit diyakinkan dengan kemanjuran atau kebenaran rencana-rencananya. Ketika kekuasaan otokratis pemerintah di Negeri Belanda disingkirkan oleh revolusi libeal pada 1848, yang menempatkan kewenangan lebih besar dalam urusan politik di tangan parlemen Belanda, pemerintah daerah di Jawa sudah tertata dengan baik. Hampir semua panirama berubah secara mendadak pada 1836. Para administrator lokal menghimbau gubernur Jenderal de Eerens untuk menerima Peraturan Dasar Pemerintah


BAB 6
Komponen Tenaga Kerja Sistem Tanam Paksa di Jawa, 1830-1835

  Sistem Tanam Paksa yang diperkenalkan di Jawa pada 1830 membawa tekanan baru yang luar biasa terhadap masyarakat Jawa. Masa penjajahan yang sebenarnya dalam sejarah Jawa dimulai pada tahun 1830. Pemerintah Belanda untuk pertama kalinya mampu mengeksploitasi dan menguasai seluruh pulau ini. Tidak ada tantangan serius terhadap kekuasaan mereka sampai abad 20. Pihak Belanda juga telah mampu terlibat langsung di Jawa sampai daerah pedalaman. Dominasi politik akhirnya tercapai di seluruh Jawa pada tahun 1830. Kondisi finansial Belanda pada tahun 1830 ternyata tidak semulus dengan keberhasilannya menguasai Jawa. Keuntungan yang diperoleh dari penguasaannya di Jawa habis digunakan untuk biaya militer dan administrasi. Sulitnya kondisi finansial Belanda kemudian mendorong pemerintah Belanda untuk membuat berbagai kebijakan di daerah koloninya. Salah satu usaha penyelamatan keuangan tersebut adalah diterapkannya sistem tanam paksa atau culturstelsel.

BAB 7
Dampak Budidaya Tanaman Dagang Ekspor di Jawa Abad ke-19

Dalam tahun 1830 pemerintah Hindia Belanda mengangkat Gubernur Jendral baru untuk Indonesia yaitu Johannes Van Den Bosch, yang diserahi tugas utama untuk meningkatkan produksi tanaman ekspor yang terhenti selama sistem pajak tanah. Dalam membebankan Van Den Bosch denagn tugas yang tidak mudah ini, pemerintah Hindia Belanda terutama terdorong oleh keadaan yang parah dari keuangan negeri Belanda. Hal ini disebabkan budget pemerintah Belanda dibebani hutang – hutang yang besar. Oleh karena masalah yang gawat ini tidak dapat ditanggulangi oleh negeri Belanda sendiri, pikiran timbul untuk mencari pemecahannya di koloni- koloninya di Asia, salah satunya yaitu di indonesia. Hasil daripada pertimbangan- pertimbangan ini merupakan gagasan sistem tanam paksa yang diintroduksi oleh Van Den Bosch sendiri. 
Sistem tanam paksa mewajibkan para petani di Jawa untuk menanam tanaman – tanaman dagang untuk diekspor ke pasaran dunia. Walaupun antara sisitem eksploitasi VOC dan sistem tanam paksa terdapat persamanaan, khususnya dalam hal penyerahan wajib, namun pengaruh sistem tanam paksa atas kehidupan desa di Jawa jauh lebih dalam dan jauh lebih menggoncangkan daripada pengaruh VOC selama kurang lebih 2 abad. Ciri utama dari sistem tanam paksa yang diperkenalkan oleh Van Den Bosch adalah keharusan bagi rakyat di Jawa untuk membayar pajak mereka dalam bentuk barang yaitu hasil pertanian mereka dan bukan dalam bentuk uang seperti yang dilakukan selama sistem pajak tanah masih berlaku. Van Den Bosch mengharapkan agar dengan pungutan pajak in natura ini tanaman dagang bisa dikirimkan ke negeri Belanda untuk dijual kepada pembeli – pembeli dari Amerika dan seluruh Eropa dengan keuntungan besar bagi pemerintah dan penguasa – penguasa Belanda.

Sistem tanam paksa pada hakikatnya merupakan satu keping uang logam, disatu sisi tanam paksa merupakan penyebab penderitaan rakyat pada selang waktu antara tahun 1830 hingga 1870, namun disisi lain tanam paksa juga memiliki dampak positif beserta segala kebermanfataannya bagi masyarakat. Berdasarkan hal tersebut maka penyusun tertarik untuk melakukan satu kajian terhadap pelaksanaan sistem tanam paksa. Sehingga nantinya dapat dijadikan sebagai satu khasanah pengetahuan baru mengenai kerugian dan keuntungan pelaksanaan sistem tanam paksa di Indonesia bagi masyarakat Indonesia itu sendiri.

BAB 8
Hak atas Tanah di Jawa

Undang-Undang Agraria 1870 diberlakukan pada tahun 1870 oleh Engelbertus de Waal sebagai reaksi atas kebijakan pemerintah Hindia-Belanda di Jawa. Latar belakang dikeluarkannya Undang-Undang Agraria antara lain karena kesewenangan pemerintah mengambil alih tanah rakyat. Politikus liberal yang saat itu berkuasa di Belanda tidak setuju dengan Tanam Paksa di Jawa dan ingin membantu penduduk Jawa sambil sekaligus keuntungan ekonomi dari tanah jajahan dengan mengizinkan berdirinya sejumlah perusahaan swasta.
UU Agraria memastikan bahwa kepemilikan tanah di Jawa tercatat. Tanah penduduk dijamin sementara tanah tak bertuan dalam sewaan dapat diserahkan. UU ini dapat dikatakan mengawali berdirinya sejumlah perusahaan swasta di Hindia-Belanda. UU Agraria sering disebut sejalan dengan Undang-Undang Gula 1870, sebab kedua UU itu menimbulkan hasil dan konsekuensi besar atas perekonomian di Jawa. Pada tahun 1830 pada saat pemerintah penjajah hampir bangkrut setelah terlibat perang Jawa terbesar, Gubernur Jenderal Van den Bosch mendapat izin khusus melaksanakan sistem Tanam Paksa dengan tujuan utama mengisi kas pemerintahan jajahan yang kosong, atau menutup defisit anggaran pemerintah penjajahan.
Sistem tanam paksa berangkat dari asumsi bahwa desa-desa di Jawa berutang sewa tanah kepada pemerintah, yang biasanya diperhitungkan senilai 40% dari hasil panen utama desa yang bersangkutan. Van den Bosch ingin setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanam komoditi ekspor ke Eropa (kopi, tebu, dan nila). Penduduk dipaksa untuk menggunakan sebagian tanah garapan dan menyisihkan sebagian hari kerja untuk bekerja bagi pemerintah. Dengan mengikuti tanam paksa, desa akan mampu melunasi utang pajak tanahnya. Bila pendapatan desa dari penjualan komoditi ekspor itu lebih banyak daripada pajak tanah yang mesti dibayar, desa itu akan menerima kelebihannya. Jika kurang, desa tersebut mesti membayar kekurangan tadi dari sumber-sumber lain.
Sistem tanam paksa diperkenalkan secara perlahan sejak tahun 1830 sampai tahun 1835. Menjelang tahun 1840 sistem ini telah sepenuhnya berjalan di Jawa. Pemerintah kolonial memobilisasi lahan pertanian, kerbau, sapi, dan tenaga kerja yang serba gratis. Komoditas kopi, teh, tembakau, tebu, yang permintaannya di pasar dunia sedang membubung, dibudidayakan.
Bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda, sistem ini berhasil luar biasa. Karena antara
1831-1871 Batavia tidak hanya bisa membangun sendiri, melainkan punya hasil bersih 823 juta gulden untuk kas di Kerajaan Belanda. Umumnya, lebih dari 30 persen anggaran belanja kerajaan berasal kiriman dari Batavia. Pada 1860-an, 72% penerimaan Kerajaan Belanda disumbang dari Oost Indische atau Hindia Belanda. Langsung atau tidak langsung, Batavia menjadi sumber modal. Misalnya, membiayai kereta api nasional Belanda yang serba mewah. Kas kerajaan Belanda pun mengalami surplus.
Badan operasi sistem tanam paksa Nederlandsche Handel Maatchappij merupakan reinkarnasi VOC yang telah bangkrut.
Akibat tanam paksa ini, produksi beras semakin berkurang, dan harganya pun melambung. Pada tahun
1843, muncul bencana kelaparan di Cirebon, Jawa Barat. Kelaparan juga melanda Jawa Tengah, tahun 1850. Sistem tanam paksa yang kejam ini, setelah mendapat protes keras dari berbagai kalangan di Belanda, akhirnya dihapus pada tahun 1870, meskipun untuk tanaman kopi di luar Jawa masih terus berlangsung sampai 1915. Program yang dijalankan untuk menggantinya adalah sistem sewa tanah dalam UU Agraria 1870.
Berikut adalah isi dari aturan tanam paksa
  • Tuntutan kepada setiap rakyat Indonesia agar menyediakan tanah pertanian untuk cultuurstelsel tidak melebihi 20% atau seperlima bagian dari tanahnya untuk ditanami jenis tanaman perdagangan.
  • Pembebasan tanah yang disediakan untuk cultuurstelsel dari pajak, karena hasil tanamannya dianggap sebagai pembayaran pajak.
  • Rakyat yang tidak memiliki tanah pertanian dapat menggantinya dengan bekerja di perkebunan milik pemerintah Belanda atau di pabrik milik pemerintah Belanda selama 66 hari atau seperlima tahun.
  • Waktu untuk mengerjakan tanaman pada tanah pertanian untuk Culturstelsel tidak boleh melebihi waktu tanam padi atau kurang lebih 3 (tiga) bulan
  • Kelebihan hasil produksi pertanian dari ketentuan akan dikembalikan kepada rakyat
  • Kerusakan atau kerugian sebagai akibat gagal panen yang bukan karena kesalahan petani seperti bencana alam dan terserang hama, akan di tanggung pemerintah Belanda
  • Penyerahan teknik pelaksanaan aturan tanam paksa kepada kepala desa
Wolter Robert baron van Hoƫvell, pejuang Politk Etis
Serangan-serangan dari orang-orang non-pemerintah mulai menggencar akibat terjadinya kelaparan dan kemiskinan yang terjadi menjelang akhir 1840-an di Grobogan,Demak,Cirebon. Gejala kelaparan ini diangkat ke permukaan dan dijadikan isu bahwa pemerintah telah melakukan eksploitasi yang berlebihan terhadap bumiputra Jawa. Muncullah orang-orang humanis maupun praktisi Liberal menyusun serangan-serangan strategisnya. Dari bidang sastra muncul Multatuli (Eduard Douwes Dekker), di lapangan jurnalistik muncul E.S.W. Roorda van Eisinga, dan di bidang politik dipimpin oleh Baron van Hoevell. Dari sinilah muncul gagasan politik etis.

BAB 9
Jawa Abad ke-19 Variasi Tema Transformasi Perdesaan
Selama Perang Jawa berlangsung, pihak Belanda memikirkan berbagai rencana untuk memperoleh keuntungan besar dari koloni-koloninya terutama Pulau Jawa. Pada tahun 1829 Johannes Van den Bosch menyampaikan kepada Raja Belanda usulan-usulan yang kelak disebut culturstelsel.[1][4] Van den Bosch ingin menjadikan Jawa sebagai aset yang menguntungkan tanah air dalam tempo sesingkat mungkin dengan menghasilkan komoditi pertanian tropis, terutama kopi, gula, dan nila (indigo), dengan harga murah sehingga dapat bersaing dengan produk serupa dari belahan dunia lain. Van den Bosch menyarankan sebuah sistem yang dia klaim lebih sesuai dengan tradisi orang Jawa, yang didasarkan atas penanaman dan penyerahan secara paksa hasil bumi kepada pemerintah. Raja menyetuji usulan-usulan tersebut, dan pada bulan Januari 1830 Van den Bosch tiba di Jawa sebagai Gubernur Jenderal yang baru. Hindia Belanda telah terjadi dualisme ekonomi.
 Ia menganggap bahwa penetrasi kolonial terhadap Jawa merupakan suatu penetrasi yang statis. Artinya di Jawa secara bersamaan ada ekonomi Timur (Jawa) yang tetap tidak berkembang dan ekonomi Barat (Belanda) kapitalistik yang berkembang tanpa menyerap yang pertama. Dalam hal ini Jawa menanggapi ekspansi ekonomi Barat dengan ledakan penduduk sambil mempertahankan nafkah per kepalanya, sehingga ekonomi Jawa dikatakannya statis.
Seperti diketahui banyak kalangan peneliti sejarah, masa akhir abad ke XIX di Jawa merupakan periode yang sangat penting dalam sejarah Jawa. Pada masa ini di Jawa dan juga hampir di seluruh Indonesia berlangsung perubahan-perubahan di dalam masyarakat pribumi yang digerakkan oleh penetrasi kekuasaan langsung kolonial Belanda. Boeke dikritik banyak ahli lain karena tolok ukurnya ganda ketika melihat pertemuan Jawa dan Belanda. Ia melihat Jawa dari segi hubungan sosialnya, sementara Belanda dari sisi ekonomi kapitalistiknya, sehingga dikatakannya Jawa itu dilandasi oleh mentalitas homososial dan Belanda itu dilandasi homoekonomi. Jadi dari dasar metodologinya penjelasan Boeke dianggap kurang memadai. Sementara itu soal pertemuan budaya Timur dan Barat bagaimana pun harus dijelaskan lebih jauh dalam melihat transformasi sosial di Jawa.

BAB 10
Warisan Sistem Tanam Paksa bagi Perkembangan Ekonomi Berikutnya

Jauh sebelum Sistem Tanam Paksa diperkenalkan di Hindia-Belanda oleh Van den Bosch pada tahun 1830, pribumi khususnya petani Jawa telah lama berada dalam lingkaran kepatuhan terhadap para pejabat Jawa yang selalu mereka anggap sebagai pelindung. Kepatuhan itulah yang kemudian membawa mereka kedalam posisi yang semakin terpuruk. Terlebih setelah STP diterapkan.
STP atau yang juga dikenal dengan istilah cultuur stelsel memang nilai oleh banyak kalangan sebagai penanda perubahan kehidupan sosial-ekonomi di Indonesia. Kekejaman yang dirasakan oleh petani Jawa mungkin hanya sebagian dampak dari penerapannya.
Menjadikan negeri jajahan sebagai sapi perahan mungkin telah menjadi hal lumrah bagi pemerintah kolonial. Eksploitasi alam dan sumber daya manusia secara besar-besaran pun dilakukan demi memenuhi tuntutan kebutuhan ekspor di Negeri Belanda. Penduduk pribumi pun diminta atau lebih tepatnya dipaksa untuk menanam tanaman-tanaman yang dibutuhkan oleh warga dunia. Semakin hasil bumi tersebut dibutuhkan maka semkin tinggi nilainya sebagai komoditi ekspor dunia. Begitu pula yang terjadi di Indonesia, tanahnya yang subur membuat pemerintah koloial tidak bisa tidak memanfaatkannya untuk menghasilkan komiditi ekspor yang melimpah. 
Kondisi tersebut semakin diperparah oleh sikap petani Jawa yang selalu memegang teguh kepatuhan terhadap penguasanya. Mereka biasa bekerja menggarap tanah para pejabat dengan suka rela, tanpa upah apapun. Selain itu, mereka juga seringkali menyerahkan upeti atau hasil bumi kepada penguasanya. Budaya inilah yang kemudian mempermudah pemerintah kolonial dalam melaksanakan tanam paksa yang berujung pada pemerasan dan penghisapan secara brutal oleh para pejabat yang tamak serta haus akan kekuasaan. Memang tidak bisa dipungkiri, tanam paksa telah memaksa lahirnya tenaga-tenaga kerja murah di Indonesia. Bahkan setelah sietem tersebut dihapuskan, keberadaan tenaga kerja dengan harga rendah masih saja ada. Hingga saat ini pun Indonesia masih terkenal sebagai negara pengirim tenaga kerja termurah.
Dengan adanya tanam paksa maka Belanda pun terbukti berhasil meningkatkan komoditi ekspornya serta menunjukan kepada dunia Jawa dapat menghasilkan komoditi pertanian tertentu dengan cara murah. Hal tersebut membuat banyak investor asing semakin berminat untuk menanamkan modalnya di Hindia-Belanda. Setelah STP dihapuskan pemerintah kolonial pun membuka pintu selebar-lebarnya bagi para penanam modal untuk membuka usaha di Hindia. Pabrik dan perkebunan swasta pun ramai didirikan.
Keberadaan perusahaan-perusahaan asing tersebut juga banyak merusak sistem kepemilikan tanah pada pribumi. Kepemilikan tanah pribadi dan komunal di desa Jawa terpaksa terenggut oleh perusahaan asing tersebut, disewa dengan harga yang sangat rendah untuk jangka waktu yang tidak terbatas. Bukan hanya itu, petani pun masih saja dipaksa untuk bekerja di tanah mereka sendiri dengan upah minim. Mereka menanam tebu untuk pabrik-pabrik gula tanpa pernah bisa mencicipi manisnya gula.
Suburnnya penanaman modal pada akhir abad 19 di Jawa pun membuat tanam paksa semakin meluas, meskipun sejatinya sistem ini telah berakhir pada tahun 1870. Ironisnya, modal tersebut tidak sepenuhnya berasal dari pengusaha Eropa dan pemerintah. Di balik itu ada kekayaan pribumi yang mereka rampas.
Meski pemerintah Hindia-Belanda juga mengambil bagian penting dalam proses penanaman modal, akan tetapi pada akhirnya para pengusaha swasta lebih memilih menggunakan peraturan swasta liberal daripada bekerja dengan sistem pemerintah yang berbelit-belit. Mereka punh mendapat dukungan dari parlemen di negeri Belanda. Akhirnya, seteleah tahun 1880 aliran modal dari Eropa ke Jawa semakin besar dan Sistem Tanam Paksa berada dalam proses pembubaran secara resmi, meski pada kenyataannya masih juga terjadi.
Tulisan Robert van Niel ini banyak menyajikan infromasi mengenai pelaksanaan serta dampak dari pelaksanaan sistem Tanam Paksa secara rinci kedalam tiga pokok bahasan sesuai dengan perubahan sosial ekonomi dari pengaruh STP, yaitu pembentukan modal, tenaga kerja yang murah, dan ekonomi pedesaaan. Selain itu, ia juga mencoba menjelaskan tahapan penulisan sejarah Sistem Tanam Paksa.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar