BAB 1
Fungsi Sewa Tanah pada Sistem Tanam
Paksa di Jawa
Perkenalan dan
operasi Sistem Tanam Paksa di Jawa berkaitan erat dengan pungutan sewa tanah.
Reinsma secara jelas dan singkat mencatat itu dalam pendiriannya bahwa sewa
tanah berlaku sebagai pengantara penting bagi pendayagunaan tenaga kerja dan
tanah rakyat. Sewa tanah diperkealkan di Jawa semasa pemerintahan peralihan
Inggris (1811-1816) oleh Sir Thomas Stamford Raffles, yang banyak menghimpun
gagasan sewa tanah dari sistem pendapatan dari tanah India-Inggris. Sewa tanah
di dasarkan pada pemikiran pokok mengenai hak penguasa sebagai pemilik semua
tanah yang ada. Tanah di sewakan kepada kepala-kepala desa di seluruh Jawa yang
pada gilirannya bertanggung jawab membagi tanah dan memungut sewa tanah
tersebut. Menjelang tahun 1827, pemerintah Belanda mengeluarkan keputusan bahwa
sebagian besar sewa tanah harus di bayar dalam bentuk emas atau perak dan
sisanya tembaga. Raffles mengubah pikirannya tentang penilaian dan pemungutan
yang secara langsung berhubungan dengan penanaman perorangan. Namun terbukti
tidak dapat di jalankan dan, ketika Jawa dikembalikan ke Belanda, diambil
keputusan untuk tetap mempertahankan sistem sewa tanah. Kebijakan kolonial
Belanda terhadap Jawa memang mengalami berbagai peninjauan ulang selama tahun
1820an. Gubernur Jenderal Van der Cpellen telah menerapkan suatu kebijakan yang
menjamin orang Jawa untuk menggunakan dan memetik hasil tanah mereka secara
bebas, tetapi harus tetap membayar sewa tanah.
Di
kabupaten-kabupaten Priangan sewa tanah tidak dijalankan serupa dengan bagian
lain pulau Jawa. Kenyataan bahwa Van Den Bosch sering melandaskan perhitungan
dan perbandingan dengan keadaan di Priangan justru hanya memperbesar ke kacauan
pelaksanaan sistemnya. sistem sewa tanah mempengaruhi perkembangan social
ekonomi dalam beberapa hal. Pertama, karena semua sumbangan wajib, kecuali kopi
di Priangan, telah dihapuskan, hasil tanaman perdagangan, yang tidak popular
untuk pasar luar negeri menurun. Kedua, kedudukan para bupati, yang kini
dilucuti kekuasaannya untuk mengumpulkan jatah beras dan memeras jasa kuli,
memburuk. Seluruh Strata pejabat pribumi rendahan yang telah dipekerjakan oleh
para bupati sebagai penyewa/bekel mewakili kabupaten mereka, yaitu mereka yang
disebut kepala perantara, dipecat. Ketiga, kedudukan kepala desa, yang sampai pada
waktu itu hanyalah primus inter pares dari penduduk desa yang punya tanah,
dinaikkan cukup tinggi. Dari tahun 1813 dan seterusnya, kepala desa adalah
pejabat pemerintah yang bertanggung jawab atas semua pajak dan jasa, dan atas
pembagian tanah-tanah desa. Keempat, pemilikan tanah pribadi secara turun
temurun dalam banyka hal diubah menjadi milik bersama, yang setiap tahun dibagi
bagi, dan sering dengan jatah yang sama.Kelima, Masuknya sistem baru ini
didasarkan pada survey ekstensif atas tanah dan penduduk dan selnjutnya semua
residen memberikan suatu laporan umum setiap tahun, berisi data penduduk dan
pertanian.
Setelah abad berlalu
Sistem Tanam Paksa tidak hanya dianggap sebagai sistem yang tidak liberal,
perhatian pun semakin banyak di curahkan pada kekejaman dan kesewenang-wenangan
pelaksanaan sistem ini di lapangan. Sistem Tanam Paksa jelas tidak dilaksanakan
menurut seperangkat instruksi tunggal khusus dan tampaknya juga tidak sejalan
dengan pernyataan-pernyataan pendirinya. Sebenarnya Van Den Bosch tidak pernah
menginginkan Sistem Tanam Paksa berjalan demikian, itu bukan perhatian
utamanya.
BAB 2
Diperkenalkan Penanaman Tebu
Pemerintahan di Pasuruan, 1830
Penanaman tebu yang
dierkenalkan di Jawa berlangsung jauh sebelum 1830 tetapi sistem baru yang
sekarang membawa perubahan tentang bagaimana tanaman dagang dikelola sejak
penanaman sampai penggilan untuk ekspor.penyelenggaraan tanaman tebu di bawah
peraturan pemerintah setelah 1830 diputuskan pada perjanjian-perjanjian
kontrak. Semula kontrak dengan desa-desa di Pasuruan memasukkan perhitungan
harga panen dan pengangkutan batang tebu ke pabrik gula. Tetapi hal itu diubah
pada tahun 1834. Kontrak-kontrak berlaku berikutnya hanya untuk penyediaan
lahan penanaman dan pemeliharaan. Penebangan, dan pengangkutan serta kerja di
pabrik gula dan penyerahan kayu bakar diatur dalam persetujuan tambahan antara
pengusaha pabrik dengan desa. Sistem Tanam Paksa yang diperkenalkan di Jawa
oleh Johannes van den Bosch pada 1830 mempunyai tujuan utama mendapatkan produksi
komoditi di Jawa yang dapat dijual di pasar dunia.
BAB 3
Peraturan Produksi Gula di Jawa, 1830-1840
Pabrik Gula
Tjielendoek Cirebon di bangun pada awal 1830-an dengan menyediakan 600 bau
tanah yang siap ditanami tebu. Perhitungan angkatan kerja yang biasa di pakai
di daerah ini adalah empat orang per bau, masing-masing bekerja selama 3 bulan
dalam setahun. Menjelang akhir 1834 terdapat lebiih dari 2600 keluarga ditambah
lebih dari 400 kepala desa dan penguasa lokal yang bekerja untuk pabrik itu.
Mereka berasal dari berbagai desa di sekitar pabrik dan tidak hanya memasok
tenaga. Mereka juga menyediakan kerbau, bajak, pedati peralatan dan lain-lain.
Bila orang orang
biasa desa Jawa tidak mengembangkan jiwa kewirausahaan penanaman tebu, maka
kita mungkin dapat mengharapkan sesuatu yang lebih banyak dari orang Jawa kelas
atas. Kegagalan mereka dalam menjalankan langkah pengembangan kegiatan yang
lebih besar mungkin memppunyai akar penyebab pada faktor-faktor sosial dan
budaya dalam masyarakat Jawa itu sendiri.
BAB
4
Tolok Ukur Perubahan Sistem Tanam
Paksa di Jawa, 1837-1851
Sistem Tanam Paksa
diperkenalkan di pulau Jawa pada 1830 bertepatan dengan kedatangan sang
pencipta sistem yang amat bersemangat yaitu Johannes van den Bosch. Setahun
sebelumnya Raja William I menugaskan dalam mewujudkan rencana menjadikan pulau
Jawa sebagai penghasil komoditas pertanianyang dapat dijual di pasar dunia. Dua
elemen penting dipersiapkan oleh van den bosch supaya produksi berbagai jenis
tanaman dagang dapat mulai dijalankan yakni dengan menerapkan pembayaran
presentase dan mendirikan Kantor Budidaya Tanaman.
Penyetoran kopi
dengan mendapat sedikit atau tanpa imbalan diberlakukan di beberapa kabupaten
di Jawa jauh sebelum sistem Tanam Paksa diperkenalkan, dan dalam artian
tertentu kopi tidak dimasukan dalam rancangan van den Bosch. Namun kenyataan di
lapangan sungguh berbeda. Mustahil meniadakan tanaman dagang yang memberi
pendapatan terbesar ini dari seluruh rencana perekonomian dan Direktur Budidaya
Tanaman itu sendiri sejak awal menyertakan kopi ke dalam laporan-laporannya.
Sejumlah kecil pohon
nila ditanam di Jawa sejak zaman dulu, tetapi penanaman dan pengolahannya
secara besar-besaran untuk ekspor baru diperkenalkan semasa Sistem Tanam Paksa.
Nila ditanam di tanah-tanah nonirigasi, lahan yang sering juga digunakan untuk
padi gogo atau palawija.
BAB 5
Kebijakan Pemerintah Sipil di Jawa
Selama Masa Awal Sistem Tanam Paksa
Ketika
mengarakterisasi aspek hukum pemerintahan sipil Hindia-Belanda masa-masa sebelu
1854- tahun terakhir dari serangkaian penyusunan Peraturan-peraturan Dasar
Pemerintah yang dianggap sebagai landasan berpijak pemerintahan kolonial –
Logeman menggunakan istilah negara polisi. Dilihat dari segi kepastian dan
ketetapan hukum selama tahun 1816 sampai 1854.
Kurun waktu sampai dengan tahun 1830
menunjukan banyak sekali perubahan dalam kebijakan pemerintah Eropa di Jawa.
Dengan hanya menyebut beberapa nama penting seperti Daendels, Raffles, Van der
Capellen, dan Du Bus akan mengingatkan kita pada usaha-usaha pengembangan suatu
strategi agar tanah jajahan bisa mendatangkan keuntungan. Tetapi di dalam semua
strategi tersebut ada prinsip dasar yang tidak berubah. Prinsip ini secara luas
dapat disamakan dengan istilah liberal, sebagaimana yang dipahami pada masa
kemudian.
Tahun-tahun awal
pemerintahan van den Bosch adalah masa yang penuh dengan tantangan.
Pejabat-pejabat pemerintahan sipil Eropa di Jawa sulit diyakinkan dengan
kemanjuran atau kebenaran rencana-rencananya. Ketika kekuasaan otokratis
pemerintah di Negeri Belanda disingkirkan oleh revolusi libeal pada 1848, yang
menempatkan kewenangan lebih besar dalam urusan politik di tangan parlemen
Belanda, pemerintah daerah di Jawa sudah tertata dengan baik. Hampir semua
panirama berubah secara mendadak pada 1836. Para administrator lokal menghimbau
gubernur Jenderal de Eerens untuk menerima Peraturan Dasar Pemerintah
BAB 6
Komponen Tenaga Kerja Sistem Tanam
Paksa di Jawa, 1830-1835
Sistem Tanam Paksa yang diperkenalkan di Jawa
pada 1830 membawa tekanan baru yang luar biasa terhadap masyarakat Jawa. Masa
penjajahan yang sebenarnya dalam sejarah Jawa dimulai pada tahun 1830.
Pemerintah Belanda untuk pertama kalinya mampu mengeksploitasi dan menguasai
seluruh pulau ini. Tidak ada tantangan serius terhadap kekuasaan mereka sampai
abad 20. Pihak Belanda juga telah mampu terlibat langsung di Jawa sampai daerah
pedalaman. Dominasi politik akhirnya tercapai di seluruh Jawa pada tahun 1830. Kondisi
finansial Belanda pada tahun 1830 ternyata tidak semulus dengan keberhasilannya
menguasai Jawa. Keuntungan yang diperoleh dari penguasaannya di Jawa habis
digunakan untuk biaya militer dan administrasi. Sulitnya kondisi finansial
Belanda kemudian mendorong pemerintah Belanda untuk membuat berbagai kebijakan
di daerah koloninya. Salah satu usaha penyelamatan keuangan tersebut adalah
diterapkannya sistem tanam paksa atau culturstelsel.
BAB 7
Dampak Budidaya Tanaman Dagang Ekspor
di Jawa Abad ke-19
Dalam tahun 1830
pemerintah Hindia Belanda mengangkat Gubernur Jendral baru untuk Indonesia
yaitu Johannes Van Den Bosch, yang diserahi tugas utama untuk meningkatkan
produksi tanaman ekspor yang terhenti selama sistem pajak tanah. Dalam
membebankan Van Den Bosch denagn tugas yang tidak mudah ini, pemerintah Hindia
Belanda terutama terdorong oleh keadaan yang parah dari keuangan negeri
Belanda. Hal ini disebabkan budget pemerintah Belanda dibebani hutang – hutang
yang besar. Oleh karena masalah yang gawat ini tidak dapat ditanggulangi oleh
negeri Belanda sendiri, pikiran timbul untuk mencari pemecahannya di koloni-
koloninya di Asia, salah satunya yaitu di indonesia. Hasil daripada
pertimbangan- pertimbangan ini merupakan gagasan sistem tanam paksa yang diintroduksi
oleh Van Den Bosch sendiri.
Sistem tanam paksa
mewajibkan para petani di Jawa untuk menanam tanaman – tanaman dagang untuk
diekspor ke pasaran dunia. Walaupun antara sisitem eksploitasi VOC dan sistem
tanam paksa terdapat persamanaan, khususnya dalam hal penyerahan wajib, namun
pengaruh sistem tanam paksa atas kehidupan desa di Jawa jauh lebih dalam
dan jauh lebih menggoncangkan daripada pengaruh VOC selama kurang lebih 2 abad.
Ciri utama dari sistem tanam paksa yang diperkenalkan oleh Van Den Bosch adalah
keharusan bagi rakyat di Jawa untuk membayar pajak mereka dalam bentuk barang
yaitu hasil pertanian mereka dan bukan dalam bentuk uang seperti yang dilakukan
selama sistem pajak tanah masih berlaku. Van Den Bosch mengharapkan agar dengan
pungutan pajak in natura ini
tanaman dagang bisa dikirimkan ke negeri Belanda untuk dijual kepada pembeli –
pembeli dari Amerika dan seluruh Eropa dengan keuntungan besar bagi pemerintah
dan penguasa – penguasa Belanda.
Sistem tanam paksa pada
hakikatnya merupakan satu keping uang logam, disatu sisi tanam paksa merupakan
penyebab penderitaan rakyat pada selang waktu antara tahun 1830 hingga 1870,
namun disisi lain tanam paksa juga memiliki dampak positif beserta segala
kebermanfataannya bagi masyarakat. Berdasarkan hal tersebut maka penyusun
tertarik untuk melakukan satu kajian terhadap pelaksanaan sistem tanam paksa.
Sehingga nantinya dapat dijadikan sebagai satu khasanah pengetahuan baru
mengenai kerugian dan keuntungan pelaksanaan sistem tanam paksa di Indonesia bagi
masyarakat Indonesia itu sendiri.
BAB 8
Hak atas Tanah di Jawa
Undang-Undang Agraria 1870 diberlakukan pada tahun 1870
oleh Engelbertus de Waal
sebagai reaksi atas kebijakan pemerintah Hindia-Belanda di Jawa.
Latar belakang dikeluarkannya Undang-Undang Agraria antara lain karena
kesewenangan pemerintah mengambil alih tanah rakyat. Politikus liberal yang
saat itu berkuasa di Belanda tidak setuju dengan Tanam Paksa
di Jawa dan ingin membantu penduduk Jawa sambil sekaligus keuntungan ekonomi
dari tanah jajahan dengan mengizinkan berdirinya sejumlah perusahaan swasta.
UU
Agraria memastikan bahwa kepemilikan tanah di Jawa tercatat. Tanah penduduk
dijamin sementara tanah tak bertuan dalam sewaan dapat diserahkan. UU ini dapat
dikatakan mengawali berdirinya sejumlah perusahaan swasta di Hindia-Belanda. UU Agraria sering disebut sejalan dengan Undang-Undang Gula
1870, sebab
kedua UU itu menimbulkan hasil dan konsekuensi besar atas perekonomian di Jawa.
Pada tahun 1830
pada saat pemerintah penjajah hampir bangkrut setelah terlibat perang Jawa
terbesar, Gubernur Jenderal Van den Bosch mendapat izin khusus melaksanakan
sistem Tanam Paksa dengan tujuan utama mengisi kas pemerintahan jajahan yang
kosong, atau menutup defisit anggaran pemerintah penjajahan.
Sistem
tanam paksa berangkat dari asumsi bahwa desa-desa di Jawa berutang sewa tanah
kepada pemerintah, yang biasanya diperhitungkan senilai 40% dari hasil panen
utama desa yang bersangkutan. Van den Bosch ingin setiap desa menyisihkan
sebagian tanahnya untuk ditanam komoditi ekspor ke Eropa (kopi, tebu, dan nila). Penduduk dipaksa untuk
menggunakan sebagian tanah garapan dan menyisihkan sebagian hari kerja untuk
bekerja bagi pemerintah. Dengan mengikuti tanam paksa, desa akan mampu melunasi
utang pajak tanahnya. Bila pendapatan desa dari penjualan komoditi ekspor itu
lebih banyak daripada pajak tanah yang mesti dibayar, desa itu akan menerima
kelebihannya. Jika kurang, desa tersebut mesti membayar kekurangan tadi dari
sumber-sumber lain.
Sistem
tanam paksa diperkenalkan secara perlahan sejak tahun 1830 sampai tahun 1835. Menjelang tahun 1840 sistem ini telah sepenuhnya
berjalan di Jawa.
Pemerintah kolonial memobilisasi lahan pertanian, kerbau, sapi, dan tenaga
kerja yang serba gratis. Komoditas kopi, teh, tembakau, tebu, yang
permintaannya di pasar dunia sedang membubung, dibudidayakan.
Bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda, sistem ini berhasil luar biasa. Karena antara 1831-1871 Batavia tidak hanya bisa membangun sendiri, melainkan punya hasil bersih 823 juta gulden untuk kas di Kerajaan Belanda. Umumnya, lebih dari 30 persen anggaran belanja kerajaan berasal kiriman dari Batavia. Pada 1860-an, 72% penerimaan Kerajaan Belanda disumbang dari Oost Indische atau Hindia Belanda. Langsung atau tidak langsung, Batavia menjadi sumber modal. Misalnya, membiayai kereta api nasional Belanda yang serba mewah. Kas kerajaan Belanda pun mengalami surplus.
Bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda, sistem ini berhasil luar biasa. Karena antara 1831-1871 Batavia tidak hanya bisa membangun sendiri, melainkan punya hasil bersih 823 juta gulden untuk kas di Kerajaan Belanda. Umumnya, lebih dari 30 persen anggaran belanja kerajaan berasal kiriman dari Batavia. Pada 1860-an, 72% penerimaan Kerajaan Belanda disumbang dari Oost Indische atau Hindia Belanda. Langsung atau tidak langsung, Batavia menjadi sumber modal. Misalnya, membiayai kereta api nasional Belanda yang serba mewah. Kas kerajaan Belanda pun mengalami surplus.
Badan
operasi sistem tanam paksa Nederlandsche
Handel Maatchappij merupakan reinkarnasi VOC yang telah bangkrut.
Akibat tanam paksa ini, produksi beras semakin berkurang, dan harganya pun melambung. Pada tahun 1843, muncul bencana kelaparan di Cirebon, Jawa Barat. Kelaparan juga melanda Jawa Tengah, tahun 1850. Sistem tanam paksa yang kejam ini, setelah mendapat protes keras dari berbagai kalangan di Belanda, akhirnya dihapus pada tahun 1870, meskipun untuk tanaman kopi di luar Jawa masih terus berlangsung sampai 1915. Program yang dijalankan untuk menggantinya adalah sistem sewa tanah dalam UU Agraria 1870.
Akibat tanam paksa ini, produksi beras semakin berkurang, dan harganya pun melambung. Pada tahun 1843, muncul bencana kelaparan di Cirebon, Jawa Barat. Kelaparan juga melanda Jawa Tengah, tahun 1850. Sistem tanam paksa yang kejam ini, setelah mendapat protes keras dari berbagai kalangan di Belanda, akhirnya dihapus pada tahun 1870, meskipun untuk tanaman kopi di luar Jawa masih terus berlangsung sampai 1915. Program yang dijalankan untuk menggantinya adalah sistem sewa tanah dalam UU Agraria 1870.
Berikut adalah
isi dari aturan tanam paksa
- Tuntutan kepada setiap rakyat Indonesia agar menyediakan tanah pertanian untuk cultuurstelsel tidak melebihi 20% atau seperlima bagian dari tanahnya untuk ditanami jenis tanaman perdagangan.
- Pembebasan tanah yang disediakan untuk cultuurstelsel dari pajak, karena hasil tanamannya dianggap sebagai pembayaran pajak.
- Rakyat yang tidak memiliki tanah pertanian dapat menggantinya dengan bekerja di perkebunan milik pemerintah Belanda atau di pabrik milik pemerintah Belanda selama 66 hari atau seperlima tahun.
- Waktu untuk mengerjakan tanaman pada tanah pertanian untuk Culturstelsel tidak boleh melebihi waktu tanam padi atau kurang lebih 3 (tiga) bulan
- Kelebihan hasil produksi pertanian dari ketentuan akan dikembalikan kepada rakyat
- Kerusakan atau kerugian sebagai akibat gagal panen yang bukan karena kesalahan petani seperti bencana alam dan terserang hama, akan di tanggung pemerintah Belanda
- Penyerahan teknik pelaksanaan aturan tanam paksa kepada kepala desa
Wolter Robert
baron van Hoƫvell, pejuang Politk Etis
Serangan-serangan
dari orang-orang non-pemerintah mulai menggencar akibat terjadinya kelaparan
dan kemiskinan yang terjadi menjelang akhir 1840-an di Grobogan,Demak,Cirebon.
Gejala kelaparan ini diangkat ke permukaan dan dijadikan isu bahwa pemerintah
telah melakukan eksploitasi yang berlebihan terhadap bumiputra Jawa. Muncullah orang-orang
humanis maupun praktisi Liberal menyusun serangan-serangan strategisnya. Dari
bidang sastra
muncul Multatuli
(Eduard Douwes Dekker), di lapangan jurnalistik
muncul E.S.W. Roorda van Eisinga, dan di bidang politik dipimpin
oleh Baron van Hoevell. Dari sinilah muncul gagasan politik etis.
BAB 9
Jawa Abad ke-19 Variasi Tema
Transformasi Perdesaan
Selama Perang Jawa
berlangsung, pihak Belanda memikirkan berbagai rencana untuk memperoleh
keuntungan besar dari koloni-koloninya terutama Pulau Jawa. Pada tahun 1829
Johannes Van den Bosch menyampaikan kepada Raja Belanda usulan-usulan yang
kelak disebut culturstelsel.[1][4] Van den Bosch ingin
menjadikan Jawa sebagai aset yang menguntungkan tanah air dalam tempo sesingkat
mungkin dengan menghasilkan komoditi pertanian tropis, terutama kopi, gula, dan
nila (indigo), dengan harga murah sehingga dapat bersaing dengan produk serupa
dari belahan dunia lain. Van den Bosch menyarankan sebuah sistem yang dia klaim
lebih sesuai dengan tradisi orang Jawa, yang didasarkan atas penanaman dan penyerahan
secara paksa hasil bumi kepada pemerintah. Raja menyetuji usulan-usulan
tersebut, dan pada bulan Januari 1830 Van den Bosch tiba di Jawa sebagai
Gubernur Jenderal yang baru. Hindia Belanda telah terjadi
dualisme ekonomi.
Ia menganggap bahwa penetrasi kolonial
terhadap Jawa merupakan suatu penetrasi yang statis. Artinya di Jawa secara
bersamaan ada ekonomi Timur (Jawa) yang tetap tidak berkembang dan ekonomi
Barat (Belanda) kapitalistik yang berkembang tanpa menyerap yang pertama. Dalam
hal ini Jawa menanggapi ekspansi ekonomi Barat dengan ledakan penduduk sambil
mempertahankan nafkah per kepalanya, sehingga ekonomi Jawa dikatakannya statis.
Seperti diketahui banyak kalangan peneliti sejarah, masa akhir abad ke XIX di Jawa merupakan periode yang sangat penting dalam sejarah Jawa. Pada masa ini di Jawa dan juga hampir di seluruh Indonesia berlangsung perubahan-perubahan di dalam masyarakat pribumi yang digerakkan oleh penetrasi kekuasaan langsung kolonial Belanda. Boeke dikritik banyak ahli lain karena tolok ukurnya ganda ketika melihat pertemuan Jawa dan Belanda. Ia melihat Jawa dari segi hubungan sosialnya, sementara Belanda dari sisi ekonomi kapitalistiknya, sehingga dikatakannya Jawa itu dilandasi oleh mentalitas homososial dan Belanda itu dilandasi homoekonomi. Jadi dari dasar metodologinya penjelasan Boeke dianggap kurang memadai. Sementara itu soal pertemuan budaya Timur dan Barat bagaimana pun harus dijelaskan lebih jauh dalam melihat transformasi sosial di Jawa.
Seperti diketahui banyak kalangan peneliti sejarah, masa akhir abad ke XIX di Jawa merupakan periode yang sangat penting dalam sejarah Jawa. Pada masa ini di Jawa dan juga hampir di seluruh Indonesia berlangsung perubahan-perubahan di dalam masyarakat pribumi yang digerakkan oleh penetrasi kekuasaan langsung kolonial Belanda. Boeke dikritik banyak ahli lain karena tolok ukurnya ganda ketika melihat pertemuan Jawa dan Belanda. Ia melihat Jawa dari segi hubungan sosialnya, sementara Belanda dari sisi ekonomi kapitalistiknya, sehingga dikatakannya Jawa itu dilandasi oleh mentalitas homososial dan Belanda itu dilandasi homoekonomi. Jadi dari dasar metodologinya penjelasan Boeke dianggap kurang memadai. Sementara itu soal pertemuan budaya Timur dan Barat bagaimana pun harus dijelaskan lebih jauh dalam melihat transformasi sosial di Jawa.
BAB 10
Warisan Sistem Tanam Paksa bagi
Perkembangan Ekonomi Berikutnya
Jauh sebelum Sistem
Tanam Paksa diperkenalkan di Hindia-Belanda oleh Van den Bosch pada tahun 1830,
pribumi khususnya petani Jawa telah lama berada dalam lingkaran kepatuhan
terhadap para pejabat Jawa yang selalu mereka anggap sebagai pelindung.
Kepatuhan itulah yang kemudian membawa mereka kedalam posisi yang semakin
terpuruk. Terlebih setelah STP diterapkan.
STP atau yang juga dikenal dengan istilah cultuur stelsel memang nilai oleh banyak kalangan sebagai penanda perubahan kehidupan sosial-ekonomi di Indonesia. Kekejaman yang dirasakan oleh petani Jawa mungkin hanya sebagian dampak dari penerapannya.
Menjadikan negeri jajahan sebagai sapi perahan mungkin telah menjadi hal lumrah bagi pemerintah kolonial. Eksploitasi alam dan sumber daya manusia secara besar-besaran pun dilakukan demi memenuhi tuntutan kebutuhan ekspor di Negeri Belanda. Penduduk pribumi pun diminta atau lebih tepatnya dipaksa untuk menanam tanaman-tanaman yang dibutuhkan oleh warga dunia. Semakin hasil bumi tersebut dibutuhkan maka semkin tinggi nilainya sebagai komoditi ekspor dunia. Begitu pula yang terjadi di Indonesia, tanahnya yang subur membuat pemerintah koloial tidak bisa tidak memanfaatkannya untuk menghasilkan komiditi ekspor yang melimpah.
STP atau yang juga dikenal dengan istilah cultuur stelsel memang nilai oleh banyak kalangan sebagai penanda perubahan kehidupan sosial-ekonomi di Indonesia. Kekejaman yang dirasakan oleh petani Jawa mungkin hanya sebagian dampak dari penerapannya.
Menjadikan negeri jajahan sebagai sapi perahan mungkin telah menjadi hal lumrah bagi pemerintah kolonial. Eksploitasi alam dan sumber daya manusia secara besar-besaran pun dilakukan demi memenuhi tuntutan kebutuhan ekspor di Negeri Belanda. Penduduk pribumi pun diminta atau lebih tepatnya dipaksa untuk menanam tanaman-tanaman yang dibutuhkan oleh warga dunia. Semakin hasil bumi tersebut dibutuhkan maka semkin tinggi nilainya sebagai komoditi ekspor dunia. Begitu pula yang terjadi di Indonesia, tanahnya yang subur membuat pemerintah koloial tidak bisa tidak memanfaatkannya untuk menghasilkan komiditi ekspor yang melimpah.
Kondisi tersebut
semakin diperparah oleh sikap petani Jawa yang selalu memegang teguh kepatuhan
terhadap penguasanya. Mereka biasa bekerja menggarap tanah para pejabat dengan
suka rela, tanpa upah apapun. Selain itu, mereka juga seringkali menyerahkan
upeti atau hasil bumi kepada penguasanya. Budaya inilah yang kemudian
mempermudah pemerintah kolonial dalam melaksanakan tanam paksa yang berujung
pada pemerasan dan penghisapan secara brutal oleh para pejabat yang tamak serta
haus akan kekuasaan. Memang tidak bisa dipungkiri, tanam paksa telah memaksa
lahirnya tenaga-tenaga kerja murah di Indonesia. Bahkan setelah sietem tersebut
dihapuskan, keberadaan tenaga kerja dengan harga rendah masih saja ada. Hingga
saat ini pun Indonesia masih terkenal sebagai negara pengirim tenaga kerja
termurah.
Dengan adanya tanam paksa maka Belanda pun terbukti berhasil meningkatkan komoditi ekspornya serta menunjukan kepada dunia Jawa dapat menghasilkan komoditi pertanian tertentu dengan cara murah. Hal tersebut membuat banyak investor asing semakin berminat untuk menanamkan modalnya di Hindia-Belanda. Setelah STP dihapuskan pemerintah kolonial pun membuka pintu selebar-lebarnya bagi para penanam modal untuk membuka usaha di Hindia. Pabrik dan perkebunan swasta pun ramai didirikan.
Keberadaan perusahaan-perusahaan asing tersebut juga banyak merusak sistem kepemilikan tanah pada pribumi. Kepemilikan tanah pribadi dan komunal di desa Jawa terpaksa terenggut oleh perusahaan asing tersebut, disewa dengan harga yang sangat rendah untuk jangka waktu yang tidak terbatas. Bukan hanya itu, petani pun masih saja dipaksa untuk bekerja di tanah mereka sendiri dengan upah minim. Mereka menanam tebu untuk pabrik-pabrik gula tanpa pernah bisa mencicipi manisnya gula.
Dengan adanya tanam paksa maka Belanda pun terbukti berhasil meningkatkan komoditi ekspornya serta menunjukan kepada dunia Jawa dapat menghasilkan komoditi pertanian tertentu dengan cara murah. Hal tersebut membuat banyak investor asing semakin berminat untuk menanamkan modalnya di Hindia-Belanda. Setelah STP dihapuskan pemerintah kolonial pun membuka pintu selebar-lebarnya bagi para penanam modal untuk membuka usaha di Hindia. Pabrik dan perkebunan swasta pun ramai didirikan.
Keberadaan perusahaan-perusahaan asing tersebut juga banyak merusak sistem kepemilikan tanah pada pribumi. Kepemilikan tanah pribadi dan komunal di desa Jawa terpaksa terenggut oleh perusahaan asing tersebut, disewa dengan harga yang sangat rendah untuk jangka waktu yang tidak terbatas. Bukan hanya itu, petani pun masih saja dipaksa untuk bekerja di tanah mereka sendiri dengan upah minim. Mereka menanam tebu untuk pabrik-pabrik gula tanpa pernah bisa mencicipi manisnya gula.
Suburnnya penanaman
modal pada akhir abad 19 di Jawa pun membuat tanam paksa semakin meluas,
meskipun sejatinya sistem ini telah berakhir pada tahun 1870. Ironisnya, modal
tersebut tidak sepenuhnya berasal dari pengusaha Eropa dan pemerintah. Di balik
itu ada kekayaan pribumi yang mereka rampas.
Meski pemerintah Hindia-Belanda juga mengambil bagian penting dalam proses penanaman modal, akan tetapi pada akhirnya para pengusaha swasta lebih memilih menggunakan peraturan swasta liberal daripada bekerja dengan sistem pemerintah yang berbelit-belit. Mereka punh mendapat dukungan dari parlemen di negeri Belanda. Akhirnya, seteleah tahun 1880 aliran modal dari Eropa ke Jawa semakin besar dan Sistem Tanam Paksa berada dalam proses pembubaran secara resmi, meski pada kenyataannya masih juga terjadi.
Meski pemerintah Hindia-Belanda juga mengambil bagian penting dalam proses penanaman modal, akan tetapi pada akhirnya para pengusaha swasta lebih memilih menggunakan peraturan swasta liberal daripada bekerja dengan sistem pemerintah yang berbelit-belit. Mereka punh mendapat dukungan dari parlemen di negeri Belanda. Akhirnya, seteleah tahun 1880 aliran modal dari Eropa ke Jawa semakin besar dan Sistem Tanam Paksa berada dalam proses pembubaran secara resmi, meski pada kenyataannya masih juga terjadi.
Tulisan Robert van
Niel ini banyak menyajikan infromasi mengenai pelaksanaan serta dampak dari
pelaksanaan sistem Tanam Paksa secara rinci kedalam tiga pokok bahasan sesuai
dengan perubahan sosial ekonomi dari pengaruh STP, yaitu pembentukan modal,
tenaga kerja yang murah, dan ekonomi pedesaaan. Selain itu, ia juga mencoba
menjelaskan tahapan penulisan sejarah Sistem Tanam Paksa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar